Thaharah (bersuci)
FadlySenin, 24 Juli 2006 11:57:09
Hits: 6679
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Hukum Thaharah
1. Dalil Normatif Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).
Rasulullah bersabda (yang artinya), “Kunci salat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Salat tanpa wudu tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah saw. Bersabda, “Kesucian adalah setengah iman.” (HR Muslim).
2. Penjelasan tentang Thaharah
Thaharah itu terbagi menjadi dua bagian: lahir dan batin. Thaharah batin adalah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat dengan bertobat dengan sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat, dan membersihkan hati dari kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, khianat, sombong, ujub, riya, dan sum’ah dengan ikhlas, yakin, cinta kebaikan, lemah lembut, benar, tawadu, dan mengharapkan keridaan Allah SWT dengan semua niat dan amal saleh.
Adapun thaharah lahir adalah bersuci dari najis dan dari hadats (kotoran yang bisa dihilangkan dengan wudu, mandi, atau tayammum).
Thaharah dari najis adalah menghilangkan najis dengan air yang suci, baik dari pakaian orang yang hendak salat, badan, ataupun tempat salatnya. Thaharah dari hadats adalah dengan wudu, mandi, atau tayamum.
Alat Thaharah
Thaharah bisa dilakukan dengan dua hal.
1. Air mutlak, yaitu air asli yang tidak tercampuri oleh sesuatu apa pun dari najis, seperti air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju, dan air laut, berdasarkan dalil-dalil berikut. “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.” (Al-Furqan: 48). Rasulullah saw. bersabda,”Air itu suci, kecuali bila sudah berubah aromanya, rasanya, atau warnanya karena kotoran yang masuk padanya.” (HR Al-Baihaqi. Hadis ini daif, namun mempunyai sumber yang sahih).
2. Tanah yang suci, atau pasir, atau batu, atau tanah berair. Rasulullah saw. bersabda, “Dijadikan bumi itu sabagai masjid dan suci bagiku.” (HR Ahmad). Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, dan Karena sebab lain. Allah berfirman, “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.” (An-Nisa: 43).
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tanah yang baik (bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, kendati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya.” (HR Tirmizi, dan ia menghasankannya).
“Rasulullah saw. mengizinkan Amr bin Ash r.a. bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena ia menghawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.” (HR Bukhari).
Penjelasan tentang Hal yang Najis
Hal-hal yang najis adalah setiap yang keluar dari dua lubang manusia, berupa tinja dan air kencing, atau mazi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau wadi (cairan putih yang keluar selepas kencing), atau mani, air kencing, dan kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, darah, nanah, air muntahan yang telah berubah, bangkai dan organ tubuhnya kecuali kulitnya, karena jika disamak kulitnya menjadi suci. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kulit yang sudah disamak, maka menjadi suci.” (HR Muslim).
Faedah
THAHARAH
KENAPA
THAHARAH DULU?
Kalau anda membuka kitab-kitab fiqih, niscaya akan
anda dapati bahwa para ulama memulainya dengan kitab thaharah.
Apa rahasia dan sebabnya?! Minimal ada tiga alasan di balik
itu semua:
Pertama: Karena thaharah merupakan
syarat sahnya shalat yang merupakan ibadah yang paling
utama.
Kedua: Pembersihan itu sebelum
perhiasan. Seperti kalau ada anak putri yang masih kotor penuh
debu dan kita ingin memakaikan padanya baju baru dan perhiasan,
apakah akan langsung kita pakaikan ataukah kita memandikannya
terlebih dahulu?! Demikian pula thaharah, dia adalah pembersihan dan
shalat adalah perhiasannya.
Ketiga: Sebagaimana seorang
membersihkan badannya maka hendaknya dia juga membersihkan hatinya.
Hal ini merupakan peringatan kepada pembaca atau penuntut ilmu agar
meluruskan niatnya terlebih dahulu dari kotoran-kotoran hati. [1]
Seorang wanita yang sedang haidh tidak boleh
digauli suaminya sehingga dia suci terlebih dahulu kemudian
mandi darinya atau bertayammum. Hal ini merupakan madzhab
mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i. Allah
berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ
وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah mandi, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.[2]
Mujahid berkata: (يَطْهُرْنَ)
yakni suci dari darah haidh, adapun (تَطَهَّرْنَ)
yakni mandi dengan air. Sebagian Zhohiriyyah[3]
mengatakan: Maksud (تَطَهَّرْنَ)
adalah membersihkan farji mereka, tetapi pendapat ini tidak benar
karena Allah berfirman:
وَإِن
كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Dan jika kamu junub maka mandilah, [4]
Jadi kata (تَطَهَّرَ
) dalam al-Qur’an maksudnya adalah mandi.
[5]
SUCINYA AIR
Suatu saat Abu Bakar al-Abhari ahli
fiqih pernah duduk bersama Yahya bin Sha’id ahli
hadits, lalu ada seorang wanita datang melontarkan pertanyaan kepada
Yahya bin Sha’id: “Wahai syeikh! Bagaimana menurut anda tentang
sumur yang kejatuhan bangkai ayam, apakah airnya tetap suci ataukah
menjadi najis?!” Yahya menjawab: “
Lho, gimana ayam kok bisa jatuh di sumur?!
Wanita itu menjawab: “Karena memang sumurnya tidak
tertutup”. Yahya berkata lagi: “Kenapa kamu tidak menutupinya
agar tidak kejatuhan sesuatu yang tidak diinginkan”. Mendengar
Yahya yang mengelak dari memberikan jawaban
memuaskan, maka al-Abhari langsung berkata:
“Wahai saudariku, apabila air di sumur tersebut berubah maka najis tetapi kalau tidak maka dia tetap suci“.
Kisah ini memberikan faedah kepada kita akan
pentingnya mempelajari fiqih. Sungguh ilmu fiqih
merupakan ilmu yang paling utama[6].
Apabila anda ingin mengetahui betapa agungnya kedudukan fiqih, maka
lihatlah kedudukan al-Ashma’I dalam bahasa, Sibawaih dalam Nahwu,
Ibnu Ma’in dalam rawi hadits, lalu bandingkah dengan kedudukan Imam
Ahmad dan Syafi’I dalam fiqih!!. [7]
MANDI BESAR DAN JUMAT
Apabila berkumpul jinabat dengan mandi jumat,
jinabat dan haidh, jum’at dan mandi hari raya. Bolehkah digabung
jadi satu ataukah harus mandi dua kali untuk masing-masing?!
Masalah ini diperselisihkan ulama[8].
Pendapat yang kuat adalah boleh apabila dia
meniatkan keduanya, berdasarkan zhahir keumuman dua hadits
berikut:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada
niatnya.[9]
مَنْ
غَسَّل وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ
وَدَنَا مِنَ الإِمَامِ فَأَنْصَتَ,
كَانَ بِكُلِّ
خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا صِيَامُ سَنَةٍ
وَقِيَامُهَا, وَذَلِكَ
عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Barangsiapa yang menggauli
isterinya[10]
kemudian mandi, berpagi-pagi, dekat dengan imam dan
mendengarkan khutbah, maka setiap langkah yang dia langkahkan seperti
puasa dan shalat malam selama satu tahun. Hal itu sangat mudah bagi
Allah.[11]
Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama.
Ibnu Mundzir berkata:
“Mayotitas ahli ilmu yang kami ketahui berpendapat bahwa seorang yang mandi untuk jinabat dan jum’at dalam sekali mandi, hal itu sudah cukup“.[12]
AWAS! ITU TIPU DAYA
IBLIS!
Diceritakan bahwa ada seorang pernah berkata kepada
Imam Ibnu Aqil:
Saya menyelam dalam air berkali-kali, namun saya ragu apakah sah mandiku ataukah tidak, bagaimana pendapat anda?!
Ibnu Aqil menjawab:
Pergilah, karena engkau telah gugur dari kewajiban shalat. Orang itu bertanya: Bagaimana bisa seperti itu?! Beliau menjawab: Karena Nabi telah bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena dari tiga golongan, orang gila sehingga sadar, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh”.
Nah, kalau ada orang yang menyelam di air berkali-kali tapi kok masih ragu apakah sah mandinya ataukah tidak, dia termasuk kategori orang gila.[13]
DOA KELUAR-MASUK WC
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ:
كَانَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ
قَالَ: اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ
وَ اْلخَبَائِثِ
Dari Anas bin Malik berkata: Nabi apabila hendak[14]
masuk wc beliau berdoa: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari
segala kejelekan/gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon
perempuan”.[15]
Dalam lafadz ( اْلخُبُثِ
) ada dua
bacaan; dengan dhommah
dan sukun.
Kalau dengan sukun (اْلخُبْثِ)
maksudnya adalah segala kejelekan,
sedangkan dengan dhommah (اْلخُبُثِ
) adalah syetan
lelaki. Riwayat dengan sukun lebih umum, oleh
karenanya riwayat mayoritas ahli hadits adalah dengan sukun[16].
Adapun hikmah doa ini sangat jelas, sebab wc
adalah tempat kotor dan makhluk jahat seperti syetan, maka dianjurkan
untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan dan
kejelekan, diantaranya adalah kejelekan syetan.
عَنْ
عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم :
كَانَ إِذَا خَرَجَ
مِنَ الْغَائِطِ قَالَ:
غُفْرَانَكَ
Dari Aisyah bahwasanya Nabi apabila keluar dari
wc, beliau berdoa : “Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu”.[17]
Ada sebuah rahasia di balik doa ini, yaitu
sebagaimana kotoran itu menyakitkan perut dan badan, demikian pula
dosa, dia menyakitkan hati, maka dia berdoa kepada Allah untuk
meringankan beban dosa sebagaimana Allah telah meringankan dirinya
dari beban kotoran. Dan rahasia ucapan dan doa Nabi di atas
lintasan hati seorang. [18]
TIDUR, PEMBATAL WUDHU
Apakah tidur membatalkan wudhu seorang?! Masalah ini
diperselisihkan para ulama. Pendapat yang benar adalah
bahwa tidur[19]
membatalkan wudhu. Hal ini dikuatkan oleh Imam Abu Ubaid
al-Qasim bin Sallam dalam kisah menarik sebagai berikut:
“Dahulu aku berfatwa kepada manusia bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak perlu berwudhu lagi, sehingga suatu saat ada seorang yang duduk di sampingku pada hari jum’at, diapun tidur dan mengeluarkan angin kentut!. Akupun berkata padanya: Bangun dan berwudhulah. Dia menjawab: Saya enggak tidur kok. Aku berkata lagi padanya: Tadi kamu keluar kentut, jadi wudhumu batal! Orang itupun malah bersumpah bahkan dia mengatakan kepadaku: Malah kamu yang kentut! Sejak itulah, saya merubah pendapatku yang lama bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak batal wudhunya. [20]
AIR PENGGANTI TANAH
Soal: Kita semua tahu bahwa tanah adalah pengganti air, yaitu ketika seorang tidak mendapati air untuk wudhu maka dia bertayammum dengan tanah. Nah, tahukah anda kapan air bisa menjadi pegganti tanah?!
Jawab: Apabila ada seorang yang meninggal di
kapal laut dan masih jauh dari daratan serta dikhawatirkan akan
berubah baunya, maka pada kondisi seperti ini disyari’atkan
untuk memandikannya, mengkafaninya, dan menyalatinya, kemudian
mengikatnya dengan benda yang berat kemudian membuangnya ke laut
karena tidak adanya tanah untuk menguburnya.
وَمَنْ
مَاتَ فِيْ بَحْرٍ قَدْ عَزَّ دَفْنُهُ
فَفِي
الْبَحْرِ يُلْقَى وَهُوَ بِالتُّرْبِ
بُدِّلاَ
Barangsiapa mati di lautan dan berat untuk
menguburnya
Maka dilempar ke laut sebagai ganti dari
tanah[21].
MENYIBAK HIKMAH
Sebagai seorang muslim sejati, kita beriman
dengan tatanan Syari’at Islam, baik kita ketahui hikmahnya ataukah
tidak, namun bila penelitian menyibak hikmahnya, tentu saja hal
itu akan lebih menambah kemantapan kita akan indahnya syari’at yang
mulia ini. Berikut dua contoh yang telah dibuktikan oleh penelitian
modern:
Dalam Majalah “American Family Physician” edisi
bulan Maret 1990 M, dikutip komentar profesor Dizweel,
seorang ketua rumah sakit di Wasingthon tentang khitan:
“Dahulu sekitar tahun 1975 M, saya termasuk musuh bebuyutan khitan, saya mengerahkan segala upaya untuk memerangi khitan. Hanya saja pada tahun delapan puluhan, banyak penelitian membuktikan banyaknya anak-anak yang tidak dikhitan mengalami kebengkakan pada alat saluran air seni. Sekalipun demikian saya pun belum berfikir untuk menjadikan khitan sebagai solusinya. Tetapi…setelah penelitian lama dan mempelajari masalah ini dalam majalah-majalah kedokteran tentang khitan, sayapun akhirnya menemukan hasilnya sehingga saya menjadi pembela khitan untuk para anak-anak”.[22]
Sebagian para dokter di universitas Mesir
mengadakan penelitian tentang hubungan wudhu dengan kesehatan,
lalu mereka menghasilkan sebuah hasil yang mengejutkan! Terbukti
hidung orang yang tidak biasa berwudhu terlihat pucat, berminyak
dan menyimpan debu. Demikian juga lubang hidung; lengket, kotor,
berdebu dan rambut hidung mudah rontok. Hal ini sangat berbeda
dengan hidung orang yang biasa berwudhu; bersih mengkilat, tanpa
mengandung debu, rambut hidungnya juga nampak jelas dan bersih dari
debu”..[23]
TIGA MASALAH DARAH
NIFAS
1. Apabila seorang wanita keguguran maka ada dua
kemungkinan:
Pertama: Janinnya belum
membentuk, yakni masih berupa darah atau sekerat daging maka ini
adalah darah kotor, bukan darah nifas sehingga dia tetap shalat.
Kedua: Janinnya telah membentuk
seperti telah terlihat tangan, kaki atau kuku maka darahnya adalah
darah nifas.[24]
2. Apabila ada seorang wanita melahirkan tetapi
tidak mengeluarkan darah maka dia telah suci, baik
melahirkannya secara tabiat yaitu lewat farji ataukah lewat perut
karena operasi.[25]
3. Apabila ada seorang wanita melahirkan dua anak
kembar, anak pertama pada tanggal satu dan anak kedua tanggal sepuluh
misalnya dan dia mengeluarkan darah maka hal ini tetap dianggap nifas
dan memulai hitungan hari baru kembali. [26]
[1]
Tanbihul Afham hal. 7 dan Syarh Mumti’ 1/27, Ibnu
Utsaimin.
[2]
QS. Al-Baqarah: 222.
[3]
Sebagaimana dalam kitab al-Muhalla 10/81 oleh Ibnu Hazm. Dan
ini merupakan pendapat Atho’ sebagaimana dalam al-Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah 1/96.
Faedah: Syaikh al-Albani menguatkan
pendapat ini dalam kitabnya Adab Zifaf hal. 129, namun
pendapat beliau yang terakhir adalah menguatkan pendapat
mayoritas ulama, sebagaimana diceritakan oleh murid beliau Syaikh
Husain al-Awayisyah dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah
1/281. Perhatikanlah!!
[4]
QS.Al-Maidah: 6.
[5]
Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/624-626.
[6]
Menakjubkanku juga ucapan Ibnul Jauzi dalam Shaidhul Khathir
hal. 289: “Bukti terbesar yang menunjukkan pentingnya sesuatu
adalah melihat kepada buahnya. Maka barangsiapa memperhatikan buah
fiqih, niscaya dia akan mengetahui bahwa dia merupakan ilmu yang
paling utama, karena para ulama empat madzhab lebih unggul daripada
manusia lainnya padahal di zaman mereka ada yang lebih alim dari
mereka dalam al-Qur’an, hadits dan bahasa”.
[7]
Al-Hatstsu ala Hifzhi Ilmi, Ibnul Jauzi hal. 24.
[8]
Mengetahui perselisihan ulama sangat penting sekali. Alangkah
indahnya ucapan Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui
perselisihan para fuqoha’, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.
(Jami’ Bayanil IlmI, Ibnu Abdil Barr 2/814-815).
[9]
HR. Bukhari: 1 Muslim: 1907.
[10]
Demikian penafsiran Waki’ dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Zadul
Ma’ad Ibnu Qayyim 1/373)
[11]
Shahih. Riwayat Abdur Razzaq 5570, Ahmad 4/9, Abu Dawud 345, Tirmidzi
496, Nasai 3/95, Ibnu Majah 1087 dengan sanad.
[12]
al-Ausath 4/43.
[13]
Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 166-167, Iqhotsatul
Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 2/258.
[14]
Arti ini secara jelas ditegaskan oleh riwayat Imam Bukhari dalam
Adabul Mufrad: 692 dengan sanad shahih.
[15]
HR. Bukhori: 142, Muslim: 37.
[16]
Sekalipun hal ini dianggap keliru oleh al-Khothtobi dalam Ishlah
Aghlath Muhaditstsin hal. 28, namun pendapat beliau ini dibantah
oleh para ulama semisal Imam Nawawi dalam Syarh Muslim 4/71
dan Ibnu Daqiq al-I’ed dalam Ihkamul Ahkam 1/96.
[17]
HR.Tirmidzi: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300 dll. Dishohihkan
Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 52.
[18]
Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 1/124.
[19]
Maksudnya di sini adalah tidur lelap yang menjadikan seorang seperti
hilang ingatan dan tidak mengetahui kejadian di depannya, bukan hanya
sekedar ngantuk atau tidur setengah sadar. (Lihat Gharibul Hadits
al-Khathabi 2/32, Subulus Salam ash-Shan’ani
1/252-253, Tamamul Minnah al-Albani hal. 101)
[20]
al-Istidzkar 1/150, Ibnu Abdil Barr.
[21]
Ad-Durar al-Bahiyyah fil Alghoz al-Fiqhiyyah, Dr. Muhammad bin
Abdur Rahman al-Arifi hal. 8
[22]
Asrar Khitan Tatajalla fi Thibbi Hadits, Hassan Syamsi Basya, hal.
29-31.
[23]
(Al-Istisyfa’ bis Sholat, Zuhair Rabih Qoromi Dinukil dari
Nawadir Syawarid, Muhammad Khair Ramadhan, hal. 275, 282)
[24]
60 Sualan ‘an Ahkamil Haidh, Ibnu Utsaimin hal. 15-16.
[25]
Hasyiyah Raddil Muhtar, Ibnu Abidin 1/199.
[26]
al-Ahkam Syar’iyyah lid Dima’ ath-Thabi’iyyah, Dr.
Abdullah ath-Thayyar hal. 121.
Related posts:
Pengertian
Thaharah
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Macam – macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.
Macam – macam najis dibagi 3 :
1. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan salah satunya dengan tanah.
2. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau minum apa – apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau sifatnya.
3. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.
Macam – macam Hadats dibagi 2 :
1. Hadats besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci, maka ia harus mandi atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats besar ialah :
a. Bersetubuh baik keluar mani ataupun tidak
b. Keluar mani, baik karena bermimpi atu sebab lain
c. Meninggal dunia
d. Haid, nifas dan wiladah
2. Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia harus wudhu atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats kecil ialah :
a. Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
b. Karena hilang akalnya disebabkan mabuk, gila atau sebab lain seperti tidur
c. Karena persentuhan antara kulit laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya tanpa batas yang menghalanginya Karena menyentuh kemaluan
Perbedaan antara hadats,kotoran, dan najis
Hadats dan najis merupakan sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat. Hadats berbeda dengan najis karena hadats berarti keadaan dan bukan suatu benda atau zat tertentu sedangkan najis berarti benda atau zat tertentu dan bukan suatu keadaan. Adapun kotoran memiliki makna yang lebih umum dari najis, sebab meliputi pula sesuatu yang kotor namun tidak menghalangi seseorang melakukan ibadah, contohnya tanah, debu dan lain - lain.
Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah sedang menurut syara’ artinya membersihkan anggota wudlu untuk menghilangkan hadas kecil.
Syarat Wudhu
Islam
Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
Tidak berhadas besar.
Dengan air yang suci dan menyucikan.
Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
Rukun Wudhu
Niat.
Membasuh seluruh muka.
Membasuh kedua tangan sampai ke siku.
Menyapu sebagian kepala.
Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki.
Menertibkan rukun-rukun diatas.
Sunnah Wudhu
Membaca basmalah pada permulaan wudhu.
Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan.
Berkumur-kumur.
Membasuh lubang hidung sebelum berniat.
Menyapu seluruh kepala dengan air.
Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
Menyapu kedua telinga luar dan dalam.
Meniga kalikan membasuh.
Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
Membaca doa sesudah wudhu.
Yang Membatalkan Wudhu
Keluar sesuatu dari qubul dan dubur.
Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk, dan tidur nyenyak.
Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup.
Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari-jari yang tidak memakai tutup.
Cara Berwudhu
• Membaca basmalah, sambil mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan sampai bersih.
• Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi.
• Mencuci lubang hidung tiga kali.
• Mencuci muka tiga kali.
• Mencuci kedua belah tangan hingga siku-siku tiga kali.
• Menyapu sebagian rambut kepala tiga kali.
• Menyapu kedua belah telinga tiga kali.
• Mencuci kedua belah kaki tiga kali sampai mata kaki.
Pengertian Tayamum
Tayamum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu
Syarat Tayamum
Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak bertemu.
Berhalangan menggunakan air misalnya; karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
Telah masuk waktu shalat.
Dengan debu yang suci.
Rukun Tayamum
Niat نو يت التيمم لا ستبا حة الصلا ة فر ضا لله تعا لى
Artinya: “saya berniat tayamum untuk diperbolehkan shalat karena allah ta’ala”
Mengusapkan muka dengan debu tanah dengan dua kali usapan.
Mengusap dua belah tangan hingga siku dengan debu tanah dua kali.
Memindahkan debu kepada anggota yang diusapkan.
Tertib.
SunahTayamum
Membaca basmalah.
Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
Menepiskan debu
Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu.
Melihat air sebelum shalat kecuali yang bertayamum karena sakit.
Murtad.
Pengertian mandi jinabahوَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : “dan jika kamu junub maka mandilah”
Mandi Jinabah adalah mandi dikarenakan keadaan junub yaitu disebabkan hal-hal berikut :
Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak.
Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak; dengan perbuatan sendiri atau bukan.
Mati; dan matinya itu bukan mati syahid.
Karena selesai nifas.
Karena wiladah.
Karena selesai haid.
Rukun mandi
Niat نو يت الغسل لر فع الحدث الا كبر فر ضا لله تعا لى
Artinya : “saya berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena allah ta’ala
Membasuh seluruh badan dengan air yakni meratakan air kesemua rambut dan kulit.
Menghilangkan najis.
Sunnah mandi
Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
Membaca basmalah pada permulaan mandi.
Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan dari pada kiri.
Membasuh badan sampai tiga kali.
Membaca do’a sebagaimana membaca do’a sesudah berwudlu.
Mendahulukan mengambil air wudlu yakni sebelum mandi; disunahkan berwudlu lebih dahulu.
Larangan bagi yang haid
Bersenang-senang dengan apa yang antara pusar dan lutut.
Berpuasa baik sunah maupun wajib.
Dijatuhi thalak (cerai).
Melakukan tawaf di Baitullah
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Macam – macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.
Macam – macam najis dibagi 3 :
1. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan salah satunya dengan tanah.
2. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau minum apa – apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau sifatnya.
3. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.
Macam – macam Hadats dibagi 2 :
1. Hadats besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci, maka ia harus mandi atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats besar ialah :
a. Bersetubuh baik keluar mani ataupun tidak
b. Keluar mani, baik karena bermimpi atu sebab lain
c. Meninggal dunia
d. Haid, nifas dan wiladah
2. Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia harus wudhu atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats kecil ialah :
a. Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
b. Karena hilang akalnya disebabkan mabuk, gila atau sebab lain seperti tidur
c. Karena persentuhan antara kulit laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya tanpa batas yang menghalanginya Karena menyentuh kemaluan
Perbedaan antara hadats,kotoran, dan najis
Hadats dan najis merupakan sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat. Hadats berbeda dengan najis karena hadats berarti keadaan dan bukan suatu benda atau zat tertentu sedangkan najis berarti benda atau zat tertentu dan bukan suatu keadaan. Adapun kotoran memiliki makna yang lebih umum dari najis, sebab meliputi pula sesuatu yang kotor namun tidak menghalangi seseorang melakukan ibadah, contohnya tanah, debu dan lain - lain.
Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah sedang menurut syara’ artinya membersihkan anggota wudlu untuk menghilangkan hadas kecil.
Syarat Wudhu
Islam
Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
Tidak berhadas besar.
Dengan air yang suci dan menyucikan.
Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
Rukun Wudhu
Niat.
Membasuh seluruh muka.
Membasuh kedua tangan sampai ke siku.
Menyapu sebagian kepala.
Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki.
Menertibkan rukun-rukun diatas.
Sunnah Wudhu
Membaca basmalah pada permulaan wudhu.
Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan.
Berkumur-kumur.
Membasuh lubang hidung sebelum berniat.
Menyapu seluruh kepala dengan air.
Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
Menyapu kedua telinga luar dan dalam.
Meniga kalikan membasuh.
Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
Membaca doa sesudah wudhu.
Yang Membatalkan Wudhu
Keluar sesuatu dari qubul dan dubur.
Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk, dan tidur nyenyak.
Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup.
Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari-jari yang tidak memakai tutup.
Cara Berwudhu
• Membaca basmalah, sambil mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan sampai bersih.
• Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi.
• Mencuci lubang hidung tiga kali.
• Mencuci muka tiga kali.
• Mencuci kedua belah tangan hingga siku-siku tiga kali.
• Menyapu sebagian rambut kepala tiga kali.
• Menyapu kedua belah telinga tiga kali.
• Mencuci kedua belah kaki tiga kali sampai mata kaki.
Pengertian Tayamum
Tayamum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu
Syarat Tayamum
Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak bertemu.
Berhalangan menggunakan air misalnya; karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
Telah masuk waktu shalat.
Dengan debu yang suci.
Rukun Tayamum
Niat نو يت التيمم لا ستبا حة الصلا ة فر ضا لله تعا لى
Artinya: “saya berniat tayamum untuk diperbolehkan shalat karena allah ta’ala”
Mengusapkan muka dengan debu tanah dengan dua kali usapan.
Mengusap dua belah tangan hingga siku dengan debu tanah dua kali.
Memindahkan debu kepada anggota yang diusapkan.
Tertib.
SunahTayamum
Membaca basmalah.
Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
Menepiskan debu
Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu.
Melihat air sebelum shalat kecuali yang bertayamum karena sakit.
Murtad.
Pengertian mandi jinabahوَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : “dan jika kamu junub maka mandilah”
Mandi Jinabah adalah mandi dikarenakan keadaan junub yaitu disebabkan hal-hal berikut :
Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak.
Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak; dengan perbuatan sendiri atau bukan.
Mati; dan matinya itu bukan mati syahid.
Karena selesai nifas.
Karena wiladah.
Karena selesai haid.
Rukun mandi
Niat نو يت الغسل لر فع الحدث الا كبر فر ضا لله تعا لى
Artinya : “saya berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena allah ta’ala
Membasuh seluruh badan dengan air yakni meratakan air kesemua rambut dan kulit.
Menghilangkan najis.
Sunnah mandi
Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
Membaca basmalah pada permulaan mandi.
Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan dari pada kiri.
Membasuh badan sampai tiga kali.
Membaca do’a sebagaimana membaca do’a sesudah berwudlu.
Mendahulukan mengambil air wudlu yakni sebelum mandi; disunahkan berwudlu lebih dahulu.
Larangan bagi yang haid
Bersenang-senang dengan apa yang antara pusar dan lutut.
Berpuasa baik sunah maupun wajib.
Dijatuhi thalak (cerai).
Melakukan tawaf di Baitullah
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang
mensucikan diri”. (QS Al-Baqarah : 222).
Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan
suci, sedangkan berdasarkan pengertian syara`, thaharah berarti
mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya
pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti
mensucikan diri dan hati. Thaharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin.
Allah swt berfirman,
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah,
kemudian berilah peringatan !, dan agungkanlah Tuhanmu. Dan
bersihkanlah pakaianmu“. (QS. Al-Muddatstsir : 1-4).
Adapun thaharah daripada najis dapat dilakukan
dengan beberapa cara:
- Istinja, yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air.
- Memercikkan Air, yaitu memercikkan air ke bagian yang terkena najis kecil (mukhaffafah).
- Mencuci atau membasuh dengan air, yaitu dengan membasuh dengan air yang mengalir sampai pada bagian yang terkena najis sedang (mutawasithah) hilang tanda-tanda kenajisannya.
- Menyamak,hal ini dilakukan untuk menyucikan diri dari najis berat.
- Wudhu, yaitu membasuh muka, kedua tangan, kepala dan kedua kaki dengan air, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
- Tayamum, yaitu membasuh muka dan kedua tangan dengan tanah suci sebagai pengganti wudhu jika air tidak ditemukan, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
Allah swt berfirmanـ,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Maidah : 6)
- Mandi, yaitu mensucikan diri dari hadats besar dengan membasuh secara merata ke seluruh tubuh dengan air.
Istinja’ yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya
Allah swt berfirman,
“Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at Taubah :108)
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya (yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul) diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Seseorang dikatakan suci dengan menggunakan batu dan benda lain yang suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.
Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak memperbolehkan seseorang untuk beristinja` dengan menggunakan tulang ataupun suatu benda yang dimuliakan. Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)
Wudhu
Wudhu dilakukan untuk menghilangkan hadats kecil ketika kita akan menunaikan shalat. Rasulullah saw menganjurkan ummatnya untuk selalu menjaga dan menyempurnakan wudhu-nya
Wudlu mempunyai keistimewaan, sebagaimana banyak hadits Rasulullah saw, di antaranya:
1. “Dan dari Anas ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Dengan perangai yg baik yg terdapat pada seorang laki2, Allah menyempurnakan segala amalnya dan dengan bersucinya untuk mengerjakan sholat, Allah menghapus dosa2nya, hingga bulatlah sholat itu menjadi pahala baginya.” (HR Abu Ya’la, Bazzar, dan Thabrani dalam Al Ausath)
2. “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Maukah aku tunjukkan padamu hal2 dengan mana ALLOH menghapuskan dosa2mu serta mengangkat derajatmu?” “Mau ya Rasululloh”,ujar mereka. “Menyempurnakan wudlu menghadapi segala kesusahan, dan sering melangkah mengunjungi masjid, serta menunggu sholat demi sholat. Nah, itulah dia perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan!” (HR Malik, Muslim, Turmudzi, dan Nasai)
Pembagian Jenis Najis
Najis terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Najis Mukhaffafah:
Najis yang ringan yaitu air seni anak lak -laki di bawah umur dua tahun yang belum makan makanan kecuali air susu ibunya saja. Cara menyucikannya cukup dengan dipercikkan air saja pada bagian yang terkena najis tersebut.
2. Najis Mughallazah:
Najis yang berat yaitu anjing, babi dan keturinan kedua-duanya. Jika seseorang terkena anggota binatang tersebut dalam keadaan basah wajib disucikan dengan disamak. Cara menyucikannya ialah dengan dicuci tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya hendaklah dengan air tanah.
3. Najis Mutawassitah:
Najis pertengahan yaitu selain najis mukhaffafah dan najis mughallazah. Cara menyucikannya jika ada ain, hendaklah dihilangkan ainnya itu dan segala sifatnya yaitu rasanya, baunya dan warnanya. Jika setelah dicuci didapati masih tidak hilang rasanya seperti kesat, hendaklah dicuci lagi hingga hilang rasa itu. Setelah itu jika tidak hilang juga, ia dimaafkan. Jika bau atau wama najis itu masih tidak hilang setelah dicuci dan digosok tiga kali, hukumnya adalah dimaafkan. Jika najis itu sudah tidak ada lagi ainnya dan tidak ada lagi sifatnya seperti air kencing yang sudah kering pada kain dan hilang sifatnya, cukuplah dengan dicucuri air pada tempat yang terkena najis itu (najis hukmi). Arak apabila telah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya suci dengan syarat tidak dimasukkan benda lain di dalam tempat pemeramannya.
Pembagian Jenis Hadats
Hadats terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hadats Kecil (Shughra):
Hadats yang mengakibatkan seseorang harus berwudhu atau bertayamum untuk menghilangkannya. Adapun hadats shughra disebabkan oleh beberapa hal:
1. Buang Air (baik dari dubur maupun qubul)
2. Buang Angin
3. Hilang Akal sepert Tidur, Pingsan, ataupun Gila.
4. Menyentuh wanita yang bukan muhrim dengan sengaja tanpa ada penghalang.
5. Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (baik miliknya sendiri ataupun orang lain)
1. Hadats Besar (Kubra):
Hadats yang mengakibatkan seseorang harus mandi untuk menghilangkannya. Adapun yang menyebabkan seseorang harus mandi adalah:
1. Berhubungan kelamin (bersetubuh) walaupun tidak sampai keluar mani (sperma).
2. Mengeluarkan mani (sperma) baik sengaja (onani) ataupun tidak (mimpi).
3. Wanita yang selesai haid.
4. Wanita yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya.
5. Seseorang yang baru masuk Islam.
Dengan demikian, thaharah merupakan suatu yang
sangat istimewa dan yang membedakan seorang mukmin dari kafir, maka
hendaknya kita semua selalu menjaga kebersihan dan kesucian diri,
pakaian, dan tempat kita, sebagai awal kita mensucikan hati kita. Dan
semoga Allah swt meridhoi segala niat dan amal perbuatan kita. Amiin…
Artikel & Makalah
Website ini berisi tentang makalah & Artikel IslamSenin, 12 Mei 2008
KITAB THAHARAH
Thaharah menurut pengertian
etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu
al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan
suci”. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri
dari hadats atau najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan
sebagainya. Masih dalam pengertian bersuci, kegiatan yang serupa
dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau mencuci dengan berulang
kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang disunnahkan dan
yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan hadats
atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah
bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang
sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar
orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan
tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah
menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222). *
Bersuci atau berthaharah berkaitan
langsung dengan (1) alat bersuci, seperti air, tanah, batu dan
sebagainya. (2) kaifiat atau cara bersuci, (3) macam dan jenis najis
yang harus dihilangkan, dan (5) sebab-sebab yang mengakibatkan
wajibnya bersuci. Bersuci terdiri dari dua bagian yaitu bersuci dari
(1) hadats yang terdiri dari dua bagian pula, yaitu hadats besar dan
hadats kecil. Hadats besar disucikan dengan jalan mandi, sedangkan
hadats kecil dilakukan denngan cara berwudhu. (2) bersuci dari najis,
dengan jalan mencuci benda yang kena najis, sehingga hilang materi
najis itu, warna, rasa dan baunya.
Air Sebagai Alat Bersuci
Air digunakan sebagai alat bersuci
berdasarkan firman Allah SWT. Dan ketetapan Rasulullah SAW misalnya,
“dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan
kamu dengan hujan itu...” (Q.S. al-Furqan, 25 : 28)*
Penggunaan air untuk bersuci
dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya, setelah
Rasulullah mengucapkan takbiratul ihram untuk shalat, beliau berhenti
sejenak untuk membaca al-Fatihah. Seorang sahabat bertanya kepadanya,
“apa yang engkau baca?” Nabi SAW menjawab : “Wahai Allah
jauhkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau
menjauhkan timur dan barat. Wahai Allah sucikanlah diriku dari
kesalahan-kesalahan sebagaimana disucikannya kain yang putih dari
noda kotoran. Wahai Allah, sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahan
dengan air es dan air embun”. (H.R. Jama’ah kecuali Turmudzi)*
Hadits berikutnya mengenai suci dan
mensucikannya air laut, diriwayatkan seorang pria bertanya pada Nabi
SAW : “Wahai Rasulullah SAW, kami berlayar ditengah laut, sedangkan
kami hanya membawa sedikit air. Bila kami gunakan air itu untuk
berwudhu, kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu’ dengan air
laut?” Nabi SAW menjawab : “Air laut itu suci dan bangkai
(ikan)nya halal”. (H.R. Khamsah)*.
Air yang digunakan untuk bersuci
ada tujuh macam, yaitu (1) air hujan, (2) air laut, (3) air sungai,
(4) air sumur, (5) air sumberan (berasal dari mata air), (6) air es
(salju) dan (7) air embun. Keterangan mengenai macam air di atas,
telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, sedangkan pada air sumur
diterangkan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya engkau berwudhu’ dengan air sumur budhu’ah, padahal
orang banyak, orang yang mens dan junub datang ke sana”. Nabi
bersabda : “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh suatu apapun”.
(dihasankan Turmudzi, dishahihkan oleh Ahmad dan lainnya).*
Pembagian Air
Air sebagai alat untuk bersuci,
dibagi menjadi empat bagian yaitu (1) air yang suci dan mensucikan,
(2) air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan, (3) air yang terkena
najis, (4) air yang makruh untuk digunakannya.
Air yang suci dan dapat mensucikan
adalah air yang asli, disebut juga air mutlak. Ia boleh diminum, bisa
mensucikan sesuatu yang kena najis dan bisa untuk bersuci secara
umum. Air yang termasuk dalam kategori ini adalah air yang asli,
bukan air yang telah dipakai untuk bersuci, seperti air hujan, air
laut, air sungai, air sumur, air sumberan dari mata air, air embun,
air es dan sebagainya. Perubahan air dari air yang asli, tidak
selamanya mengubah status air itu yang suci dan mensucikan, seperti
dalam perubahan berikut ini :
- Berubahnya air disebabkan oleh tempatnya, seperti air yang mengalir pada batu kapur atau batu belerang.
- Perubahan air karena lama tergenang dalam kolam atau bak mandi.
- Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan oleh ikan atau tumbuh-tumbuhan air.
- Berubah disebabkan oleh tanah yang suci, demikian juga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang sulit dihindari, seperti daun-daunan yang berjatuhan kedalamnya atau batang pohon yang runtuh sehingga mengenai air tersebut. (Taqy al Din : tt, h.7 bandingkan Sulaiman Rasyid : 1994, h.29).
Air suci tetapi tidak mensucikan,
status air itu suci, tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci atau
mensucikan benda yang terkena najis. Termasuk dalam kelompok ini
terdapat tiga macam air, yaitu :
- Air yang telah berubah salah satu sifatnya, disebabkan bercampur dengan benda yang suci, selain dari perubahan tersebut di atas, seperti air kopi, air susu dan yang serupa dengan itu.
- Air yang sudah dipakai untuk bersuci disebut air musta’mal, yang tidak berubah sifatnya dan air itu jumlahnya kurang dari dua qulah. Air dua qulah, kurang lebih berukuran satu hasta, lebar, panjang dan tingginya atau kira-kira berukuran 60 cm3 (Taqy al Din : tt, h.11). mengenai penjelasan ini banyak dikemukakan pendapat para ahli yang bervariasi. Sebagai pedoman awal kita pegangi pukuran tersebut.
- Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari batang pohon tebu, batang aren, air kelapa dan serupa dengan itu.
Air yang kena najis, ada dua macam
yaitu (a) air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, air ini
dihukumi najis, tidak boleh dipakai untuk bersuci, baik air itu dalam
jumlah sedikit ataupun banyak. (b) air yang terkena najis yang tidak
berubah salah satu sifatnya, bila sedikit, kurang dari dua qulah maka
hukumnya najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci. Bila
jumlahnya mencapai dua qulah atau lebih maka hukumnya menjadi suci
dan mensucikan. Nabi SAW bersabda : “Air itu tidak dinajiskan
sesuatu, kecuali bila berubah rasa, warna atau baunya”. (H.R. Ibnu
Majah dan Baihaqqi).* “bila air itu mencapai dua qulah tidak
dinajiskan oleh suatu apapun”. (H.R. Ahli Hadits yang Lima).*
Air yang makruh dipakai, adalah air
yang terjemur sinar matahari dalam bejana, selain bejana emas dan
perak. Air itu tetap suci dan mensucikan, tetapi makruh digunakan
untuk bersuci berkaitan dengan tubuh, tidak dimakruhkan untuk mencuci
pakaian. Air yang terkena panas matahari yang berada dalam kolam,
sawah, danau dan sebagainya, tidak dimakruhkan untuk bersuci.
Diriwayatkan dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada
sinar matahari maka bersabda Rasulullah SAW. Kepadanya : “Jangan
berbuat begitu wahai Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat
menimbulkan penyakit supak”. (H.R. Baihaqi).*
Benda-Benda Najis
Segala macam benda, hukum dasarnya
adalah suci, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu
najis. Benda-benda yang tergolong najis berdasarkan dalil syar’i
adalah : (1) bangkai, kecuali bangkai belalang dan ikan, baik ikan
tawar maupun laut, (2) darah, (3) nanah, (4) yang keluar dari dua
jalan manusia, qubul atau dubur, seperti tinja, air seni, wadi dan
madzi, kecuali air mani. (5) muntahan, (6) khamr atau minuman keras,
(7) anjing, (8) babi, (9) air susu hewan yang haram dimakan dan (10)
bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya.
Keterangan di atas berdasarkan pada
dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT : “Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat
menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala”. (Q.S. al-Maidah, 5 : 3).* Bangkai belalang dan ikan
berdasarkan pada sabda Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kami dua jenis
bangkai dan dua jenis darah, yaitu (1) ikan, (2) belalang, (3) hati,
dan (4) limpah”. (H.R. Ibnu Majah).* Kulit bangkai dan tulang yang
telah disamak, hukumnya suci kecuali bangkai anjing dan babi,
berdasarkan Hadits Nabi SAW : “Apabila kulit bangkai di samak, maka
menjadi suci”. (H.R. Muslim).
Darah dan nanah tergolong najis
berdasarkan ayat di atas, kecuali darah yang menempel pada hati dan
limpah yang sulit dihilangkan, maka tidak diharamkan berdasarkan
hadits yang menyatakan tentang halalnya ikan dan belalang. Najisnya
kotoran yang keluar dari qubul dan dubur, seperti tinja, air kencing,
wadi dan madzi berdasarkan sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya
Rasulullah SAW, ketika diberikan kepadanya dua biji batu dan tinja
kering yang keras, untuk dipakai istinja’, beliau mengambil kedua
batu itu sedangkan tinja beliau tolak, seraya bersabda : “Tinja ini
najis”. (H.R. Bukhari).*
Mengenai najisnya air kencing, wadi
dan madzi dijelaskan Nabi SAW. Ketika seorang Badwi kencing dalam
masjid, Nabi bersabda : “Bersihkanlah air kencing itu dengan
seember air”. (H.R. Baihaqi dan Muslim).* dari Ali kw. Berkata: Aku
seorang pria yang sering keluar madzi, aku malu untuk menanyakan hal
itu kepada Rasulullah SAW, karena sebagai menantunya maka aku
perintahkan seseorang untuk bertanya kepada beliau. Nabi menjawab :
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’”. (H.R.
Muslim).* Madzi adalah sedikit cairan yang agak kental yang keluar
dari kemaluan, disebabkan oleh adanya sedikit rangsangan, keluarnya
cairan ini biasanya tidak terasa. Sedangkan wadi adalah sedikit
cairan yang agak kental, yang keluar dari kemaluan, biasanya
mengiringi air kencing atau karena terlalu lelah, sehabis bekerja
(Sayyid Sabiq): 1998, h. 20). Muntahan disepakati sebagai bagian dari
najis karena kotor, makanan yang telah muntah itu telah masuk dalam
perut, maka dihukumi najis.
Air mani hukumnya suci, berdasarkan
pada keterangan, bahwa Nabi SAW ditanya mengenai air mani yang
menempel pada pakaian, beliau menjawab : “Air mani itu seperti
ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu membersihkannya dengan secarik
kain atau sehelai daun”. (H.R. Baihaqi, Daru Quthni dan Thahawi).*
Meskipun suci, air mani disunnahkan untuk dicuci apabila basah dan
dibersihkan atau dikerok bila kering. Berkata Aisyah ra : “Ku kerok
mani itu dari kain Rasulullah SAW bila ia kering dan kucuci bila ia
basah”. (H.R. Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).*
Minuman keras atau khamer, dihukuni
najis berdasarkan pada firman Allah : “...Sesungguhnya (meminum)
khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan”. (Q.S.
al-Maidah 5 : 90).* Anjing dan babi termasuk benda yang najis,
berdasarkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan daging babi dan sabda
Nabi SAW yang menjelaskan najisnya anjing. Berdasarkan sabda
Rasulullah SAW : “Cara mencuci bejanamu yang dijilat oleh anjing,
adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali yang pertamanya
hendaklah dicampur dengan tanah”. (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Dawud
dan Baihaqi).*
Air susu hewan yang tidak halal
dimakan tergolong najis, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul
Mu’min : “Yang tergolong najis adalah empedu dan air susu hewan
yang tidak dimakan, kecuali manusia”. (Zain al-Din, tt. H. 11).
Sedangkan bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya selagi masih
hidup, dianggap najis, karena dikategorikan sebagai bangkai. Bulu
hewan yang halal dimakan hukumnya suci, misalnya bulu ayam, burung,
kambing dan sebagainya. Firman Allah SWT: “...dan (dijadikannya
pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah
tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”.
(Q.S. an-Nahl, 16 : 80).*
Pengelompokan Najis dan Cara
Mensucikannya
Ahli Fiqh membagi najis, dari segi
berat dan ringannya, menjadi tiga bagian, yaitu (1) najis
Mughallazhah atau najis yang berat, (2) najis Mutawasithah atau
pertengahan dan (3) najis Mukhafafah atau najis yang ringan. Najis
mugallazhah ada pada anjing dan babi. Cara mencucinya adalah membasuh
benda yang kena najis itu sampai hilang materi najisnya, warna, bau
dan rasanya, dibasuh sampai tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah. Najis Mutawasithah adalah najis-najis yang telah disebutkan di
atas, selain anjing dan babi, seperti kotoran, bangkai dan
sebagainya. Najis Mukhafafah adalah air kencing anak bayi laki-laki
yang belum makan selain air susu ibu.
Cara membersihkan semua najis
tersebut adalah harus hilang, materi najis itu, warna, rasa dan
baunya. Sedangkan najis mukhafafah cukup dengan memercikkan air
kepadanya. Penjelasan mengenai beberapa dalil mengenai najis tersebut
telah diuraikan pada kajian mengenai benda-benda najis, sedangkan
mengenai cara mensucikan benda yang terkena najis mukhafafah
disebutkan sabda Nabi SAW : “Kencing anak perempuan dibasuh dan
kencing anak laki-laki diperciki air”. (H.R. Tirmidzi).*
Dari segi hukumnya, najis dibagi
menjadi dua bagian yaitu (1) najis ‘ainiyah dan (2) najis hukmiyah.
Najis ‘ainiyah adalah benda najis yang masih ada materinya, seperti
zat, rasa dan bau. Najis hukmiyah adalah najis yang materinya sudah
hilang, seperti air kencing yang sudah kering. Secara hukum ia najis
tapi materi najisnya sudah hilang, cara mensucikan benda yang terkena
najis ‘ainiyah, dicuci sehingga hilang materi najis itu, rasa,
warna dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sulit
dihilangkan maka dimaafkan. Benda yang kena najis hukmiyah, cara
mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda tersebut.
(Sulaiman Rasyid : 1994, h. 36).
Istinja : Bersuci Karena Buang
Air
Apabila seorang buang air besar air
kecil, diwajibkan bersuci atau istinja dengan air atau dengan tiga
buah batu. Yang dimaksud dengan batu adalah tiap-tiap benda yang
keras, suci dan kesat seperti kayu dan sebagainya. Menurut hemat
penulis, pada saat sekarang ini sangat sulit bila mencari batu untuk
bersuci, karena itu bila tidak ada air bisa dilakukan dengan tissue
atau yang sejenisnya. Syarat istinja dengan batu, kayu atau tissue,
hendaklah sebelum kotoran itu kering dan kotoran itu tidak mengenai
tempat lain selain tempat keluarnya. Bila kotoran itu telah kering
dan telah mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak
disyahkan istinja dengan batu, kayu atau tissue, tetapi harus bersuci
dengan air.
Uraian tersebut berdasarkan pada
beberapa hadits berikut: “Sesungguhnya Rasulullah melewati dua
kuburan, seraya bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang ada dalam
kuburan itu sedang disiksa. Salah satunya disiksa karena mengadu
domba sesama manusia dan yang lain disiksa karena tidak bersuci dari
kencingnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Apabila salah seorang
diantaramu bersuci dengan batu, hendaklah batu itu hitungannya
ganjil”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Berkata Sulaiman :
Rasulullah SAW melarang kami untuk bersuci dengan batu kurang dari
tiga”. (H.R. Muslim).*
Adab Buang Air
Bagi setiap orang yang akan buang
air besar atau air kecil diarahkan agar memperhatikan adab-adabnya,
sebagai berikut : (1) tidak membawa sesuatu yang memuat nama Allah,
kecuali bila dikhawatirkan akan hilang. Anas ra meriwayatkan :
“Sesungguhnya Nabi SAW memakai cicin yang berukiran Muhammad
Rasulullah dan bila beliau masuk WC maka cincin itu ditanggalkannya”
(H.R. Arba’ah).* (2) Menjauhkan diri dari orang lain agar tidak
mengganggu mereka, baik karena bau atau suaranya. Jabir ra
meriwayatkan : “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW pada suatu
perjalanan. Beliau tidak membuang air kecuali bila telah lepas dari
penglihatan manusia”. (H.R. Ibnu Majah). Menurut riwayat Abu Dawud
: “Beliau bermaksud hendak buang air beliau pergi jauh hingga tidak
terlihat orang lain”.*
Adab yang ke (3) membaca basmalah
dan isti’adzah secara jahar (jelas), waktu hendak masuk WC. Anas ra
meriwayatkan : “Apabila Nabi SAW hendak masuk WC, beliau membca
bismillahi allahumma inni audzubika minal khubutsi wal khabaitsi
(dengan nama Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan
laki-laki dan syaitan perempuan)”. (H.R. Jama’ah).* (4) Tidak
berbicara pada waktu buang air, kecuali sangat penting sekali. Ibnu
Umar ra meriwayatkan : “Sesungguhnya seorang pria lewat pada Nabi
SAW, beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam. Nabi
SAW tidak menjawab salam orang tersebut”. (H.R. Jama’ah kecuali
bukhari).* “Jangan keluar dua orang laki-laki pergi ke WC sambil
membuka aurat dan bercakap-cakap, karena Allah SWT mengutuk perbuatan
seperti itu”. (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).*
Adab selanjutnya (5) tidak
menghadap atau membelakangi kiblat, kecuali berada dalam ruangan atau
ada tabir yang menghalanginya. Bersabda Rasulullah SAW : “Apabila
salah seorang diantaramu duduk untuk buang air, janganlah ia
menghadap kiblat atau membelakanginya”. (H.R. Ahmad & Muslim).*
Ibnu Umar meriwayatkan : “Pada suatu hari aku naik ke rumah Hafsah,
maka aku melihat Nabi SAW buang air sambil menghadap ke Syam dan
membelakangi ka’bah”. (H.R. Jama’ah).* Al-Ashghar berkata :”Aku
melihat Ibnu Umar memberhentikan kendaraannya ke arah kiblat dan
buang air kecil menghadap ke sana”. Aku bertanya kepadanya :”Wahai
Abu Abdurrahman (panggilan Ibnu Umar), bukankah itu dilarang?” Ia
menjawab : “Memang benar, tetapi hal itu hanya dilarang di lapangan
terbuka. Maka bila diantaramu dengan kiblat ada penghalang, tidak
menjadi masalah”. (H.R. Abu Dawud, Abu Hurairah dan hakim).*.
Adab berikutnya (6) buang air pada
tempatnya, atau mencari tempat yang wajar, sehingga anggota badan
atau pakaian tidak terkena najis. Bersabda Nabi SAW : “Apabila
salah seorang diantaramu buang air kecil, hendaklah ia memilih tempat
yang sesuai”. (H.R. Ahmad & Abu Dawud).* (7) Tidak buang air
dalam lubang, karena dimungkinkan akan menyakiti hewan atau makhluk
lain yang ada di dalamnya. Abdullah bin Sarjid meriwayatkan : “Nabi
SAW melarang buang air kecil dalam lubang”. Mereka bertanya pada
Qutadah : “Mengapa dilarang kencing di dalam lubang?”. Ia
menjawab : “Karena lubang adalah tempat tinggal jin”. (H.R.
Ahmad, Nasai, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi).*
(8) Agar menghindari tempat orang
bernaung, berkumpul, beristirahat atau jalan umum. Abu Hurairah
meriwayatkan, Nabi SAW bersabda : “Takutlah kamu pada kutukan orang
banyak”. Mereka bertanya : “Siapakah mereka itu?”. Nabi SAW
menjawab : “Dia yang buang air di jalan atau tempat bernaung atau
tempat beristirahat mereka” (H.R. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).* (9)
Tidak buang air di tempat mandi, pada air tergenang ataupun air yang
mengalir. Abdullah Mughaffal meriwayatkan : “Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang diantaramu buang
air kecil ditempat mandinya, kemudian ia berwudhu di sana karena pada
umumnya waswas (keraguan) itu berasal dari sana”. (H.R. Khamsah).*
Kalimat “kemudian ia berwudhu di sana”, hanya terdapat dalam
riwayat Ahmad dan Abu Daud. Jabir ra meriwayatkan : “Nabi SAW
melarang buang air kecil pada air yang tergenang”. (H.R. Ahmad,
Muslim, Nasai dan Ibnu Majah).* Juga diriwayatkan olehnya :
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang membuang air kecil pada air yang
mengalir”. (H.R. Thabrani) (Sayyid Sabiq : 1998, h.26)*
(10) Karena dianggap tidak sopan
agar tidak kecing sambil berdiri, hal itu juga mengakibatkan air seni
menyebar kemana-mana, kecuali kalau tempatnya tidak memungkinkan,
atau kesulitan melakukannya. Misalnya bagi orang yang memakai celena
panjang, sukar melakukan kencing sambil duduk (mendek), sedangkan
tempat buang air kecil disediakan sambil berdiri (urinoir), maka
kecing sambil berdiri tidak menjadi masalah. Sayyidah Aisyah ra
berkata : “Siapa yang menceritakan bahwa Rasullah SAW kencing
sambil berdiri, jangan dipercaya. Beliau tidak pernah kencing kecuali
sambil duduk”. (H.R. Khamsah).* Aisyah ra menjelaskan yang
sesungguhnya apa yang ia ketahui perihal Nabi SAW, karena itu hadits
ini tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan hudzaifah yang
mengetahui perbuatan Nabi yang tidak dilihat Aisyah. Ia meriwayatkan
: “Sesungguhnya Nabi SAW sampai ke suatu kaki bukit milik suatu
kaum, kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri. Aku pergi
menjauh darinya, tetapi nabi SAW mengatakan : “Mendekatlah kemari”,
maka akupun mendekat sehingga berdiri dekat tumitnya, Nabi SAW
kemudian berwudhu’ dan menyapu kedua sepatunya”. (H.R. Jama’ah).
(11) Wajib bersuci dengan
menghilangkan najis dari kemaluan (qubul) atau dubur (anus) dengan
air, atau dengan batu, kayu atau tissue atau yang serupa dengannya.
Atau dengan keduanya; yaitu dengan batu, kayu atau tissue kemudian
dengan air. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda : “Apabila
ada salah seorang diantaramu buang air, maka bersucilah (istinja’)
dengan tiga buah batu, karena dengan demikian itu cukuplah baginya”.
(H.R. Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni).* Dari Aisyah ra :
“Ketika Rasulullah memasuki WC, maka aku bersama seorang anak yang
sebaya denganku, membawa seember kecil air dengan gayung, maka
beliaupun bersuci dengan air itu”. (H.R. Buhari & Muslim).*
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW melewati suatu kuburan seraya
bersabda : “Dua orang ini sedang mengalami siksaan, hal itu
bukanlah disebabkan perkara yang berat. Salah seorang disebabkan
tidak bersuci dari buang air kecil dan yang lain disebabkan dengan
karena adu domba”. (H.R. Jama’ah).*
(12) Bersuci atau beristinja’
dengan tangan kiri, sebagaimana diriwayatkan : “Dikatakan orang
pada Salman : “Nabimu telah mengajarimu segala sesuatu sampai soal
kotoran”. Salman Menjawab : “Benar, Rasulullah SAW melarang kami
menghadap kiblat, ketika membuang air besar dan air kecil, atau
bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan benda najis atau
bersuci dengan tulang”. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Timidzi).* Dari
Hafsah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW selalu mempergunakan tangan
kanannya untuk makan, minum, mengganti pakaian, memberi dan menerima,
dan menggunakan tangan kirinya untuk selain dari itu”. (H.R. Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, Hakim dan Baihaqi).* (13) Menggosok
tangan dengan tanah setelah bersuci atau mencucinya dengan sabun atau
yang serupa itu, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Abu
Hurairah meriwayatkan : “Nabi SAW bila pergi ke WC, kubawakan
baginya air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit, maka
beliaupun bersuci, lalu mengusapkan tangannya ke tanah”. (H.R. Abu
Daud, al-Nasai, Baihaqi dan Ibnu Majah).*
Untuk melenyapkan keraguan dan
waswas, hendaknya (14) memerciki kemaluannya dengan air setelah
bersuci, sehingga bila nanti kedapatan basah, maka akan beralasan
bahwa yang basah dicelana itu adalah air percikan tadi bukan air
kencing. Sofyan bin Hakam meriwayatkan : “Adalah Nabi SAW bila
buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya dengan air”. Ibnu
Umar biasa menyiram kemaluannya sehingga celananya jadi (sedikit)
basah. (Sayyid Sabiq, 1998, h.29).* (15) Masuk ke dalam WC dengan
kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, sambil membca do’a :
“Ghufranaka” artinya “aku memohon ampunan-Mu”. Dari Aisyah ra
: “Sesungguhnya Nabi SAW apabila keluar dari WC mengucapkan kalimat
“ghufranaka”. (H.R. Khamsah kecuali al-Nasai).*
Sunah Fitriyah
Masih berkaitan dengan thaharah
atau kebersihan, diperintahkan kepada setiap orang muslim agar
melakukan sunah fitri yang berkaitan dengan tubuh dan aturan-aturan
yang melingkupinya secara teratur dan berkesinambungan. Perintah
tersebut berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW baik itu berupa
perkataan, perbuatan ataupun ketetapan-ketetapannya. Yang termasuk
dalam sunah fitriyah adalah : (1) Khitan (circumicio), (2) mencukur
bulu kemaluan, (3) membersihkan bulu ketiak, (4) memotong kuku, (5)
memendekkan kumis atau memeliharanya dengan baik, (6) memelihara
jenggot, (7) memelihara kerapihan rambut, (8) membiarkan uban atau
mencelupnya dengan inai yang berwarna merah atau kuning, (9)
menggunakan minyak wangi atau parfum.
Khitan atau circumicio adalah
memotong kulit (kuncup) yang menutupi kemaluan atau glan penis, untuk
menjaga kebersihan dan kesuciannya, sehingga terhindar dari penyakit
kelamin. Khitan adalah sunah yang berlangsung lama, dimulai sejak
zaman Nabi ibrahim as. Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, khitan
biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran dan pada
masyarakat Indonesia biasanya dilakukan pada umur enam sampai tujuh
tahun. Menurut jumhur ulama khitan merupakan kewajiban bagi setiap
muslim pria, karena berkaitan dengan kesucian dalam beribadah.
(Sayyid Sabiq, 1998, h. 22). Mencukur bulu kemaluan dan membersihkan
bulu ketiak, bisa dilakukan dengan menggunting atau mencukurnya,
mengeroknya dengan silet, atau dengan alat cukur lainnya.
Memotong kuku, mencukur kumis dan
memanjangkannya, boleh dilakukan secara teratur dan dijaga
kerapihannya, sehingga tidak mengganggu. Bila memelihara agar tidak
terlalu panjang, sehingga tidak menyangkutnya makanan dan tidak
menjadi tempat berkumpulnya kotoran. Memotong kuku, mencukur bulu
kemaluan dan membersihkan bulu ketiak atau memendekkan kumis, sunah
dilakukan setiap minggu. Hal itu diharapkan agar selalu menjaga
kebersihan dan menimbulkan kegairahan dalam aktivitas sehari-hari.
Karena bila tidak terurus dengan rapih akan menyebabkan fikiran
menjadi kusut dan melemahkan gairah kerja.
Apabila memelihara jenggot,
hendaknya dipangkas dengan baik, sehingga menampakkan keindahan.
Jenggot itu tidak boleh dibiarkan, tidak diurus sehingga menimbulkan
pandangan yang tidak menyenangkan. Merapihkan rambut dan menjaga
kebersihannya, menyisirnya dengan rapih merupakan sunah atau tradisi
yang dilerstarikan dalam kehidupan kaum muslimin. Membiarkan uban di
kepala dan tidak mencabutnya, baik bagi pria ataupun wanita,
diharapkan dapat mengingatkan umur yang kita miliki, sehingga kita
dapat memanfaatkan usia yang masih ada dengan sebaik-baiknya, untuk
berbuat kebaikan. Bila rambut yang telah memutih itu akan diberikan
zat pewarna hendaknya dicelup pada inai (zat pewarna) yang berwarna
merah atau kuning.
Mengecat rambut dengan warna hitam,
terdapat perbedaan pandangan, diriwayatkan bahwa ada diantaranya yang
mewarnai rambut dengan warna kuning, sebagian lain mewarnai dengan
inai dan katam, dan yang sebagaian lagi dengan warna hitam.
Disebutkan oleh al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri diberitakan :
“Bila wajah masih padat, kami mewarnai dengan warna hitam, tetapi
bila wajah sudah keriput, dan gigi sudah banyak yang tanggal, kami
tidak mencat rambut lagi”. (Sayid Sabiq : 1998, h.23). Memakai
minyak wangi atau parfum merupakan sunah yang dilestarikan dalam
kehidupan manusia muslim. Dengan demikian penampilannya di
tengah-tengah masyarakat akan menimbulkan simpati dan menyenangkan
teman bergaulnya. Karena itu memilih parfum atau minyak wangi yang
cocok merupakan suatu keharusan, agar tidak menggunakan minyak wangi
yang justru mengganggu orang lain.
Uraian di atas, berdasarkan pada
pedoman berikut : Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda :
“Ibrahim al-Khalil itu khitan pada usia 80 tahun, ia berkhitan
dengan qadum (kampak)”. (H.R. Bukhari)* Qadum dalam pendapat lain
tidak diartikan dengan kampak, tetapi nama sesuatu darerah. Maksudnya
Ibrahim melakukan khitan di kota Qadum. Dari Ibnu Umar ra, Nabi
bersabda : “Berbedalah (penampilanmu) dengan orang-orang musyrik,
lebatkan jenggot dan rapihkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim).*
Dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW : “Ada lima perkara
yang termasuk fitrah yaitu mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong
kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku”. (H.R. Jama’ah).*
Dari Zaid bin Arqam : “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang
siapa yang tidak memotong kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami”.
(H.R. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).*
Menggunting bulu kemaluan,
membersihkan bulu ketiak, memotong kuku dan merapihkan kumis,
hendaknya dilakukan setiap minggu dan tidak boleh melebihi dari empat
puluh hari. Berdasarkan riwayat Anas ra : “Kami diberi tempo oleh
Rasulullah SAW dalam memotong kumis, memotong kuku, membersihkan bulu
ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari
empat puluh hari”. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan lainnya).* Memelihara
jenggot dan merapihkannya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar bersabda
Rasulullah SAW : “Berbedalah dengan orang-orang Musyrik, lebatkan
jenggot dan pendekkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim). Bukhari
menambahkan : “Bila Ibnu Umar pergi haji atau umrah, dipegangi
jenggotnya dan yang melewati tangannya dipotong”.*
Merapikan rambut, memelihara
kebersihan dan menyisir dengan baik, berdasarkan pada riwayat Abi
Hurairah, Nabi SAW bersabda : “Siapa yang memiliki rambut maka
muliakanlah dia (merapihkan dan memelihara kebersihannya) (H.R. Abu
Daud).* Atha bin Yasar meriwayatkan : “Seorang pria berambut dan
berjenggot kusut datang pada Rasulullah SAW, Rasulullah
mengisyaratkan padanya, agar ia merapihkan rambut dan jenggotnya.
Pria itu pergi dan merapihkannya kemudian menghadap lagi kepada
Rasulullah SAW. Nabi bersabda : “Tidakkah yang demikian ini lebih
baik dari pada datang salah seorang diantaramu dengan rambut kusut
masai bagaikan syaithan?”. (H.R. Malik).*
Dari Abu Qutadah ra bahwa ia
memiliki rambut yang lebat, terurai sampai ke bahu, maka hal itu
ditanyakan pada Rasulullah SAW : “Nabi memerintahkan agar ia
merapikan dan menyisirnya setiap hari”. (H.R. Nasai).* Dari Ibnu
Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Cukurlah rambut itu
seluruhnya atau biarkan seluruhnya”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud
dan Nasai).* menguncung rambut atau membiarkan sebagian rambut di
kepala bagian atas seorang anak sedang yang lainnya dipanjangkan,
tidak disukai atau dimakruhkan berdasarkan riwayat Ibnu Umar dari
Rasulullah SAW melarang qaza. Ditanyakan pada Nafi : “Apa yang
dimaksud dengan qaza?”. Ia menjawab : :Mencukur rambut dan
meninggalkan sebagian yang lainnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).*
Membiarkan uban dan tidak berusaha
mencukur atau mencabutnya dianggap baik, karena ia digambarkan
sebagai cahaya dari seorang muslim. Bila hendak mencelub uban,
hendaklah dicelub dengan inai (zat pewarna) yang berwarna merah atau
kuning, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Semua itu
berpedoman pada keterangan dari Amar bin Syu’aib. Sesungguhnya Nabi
SAW bersabda : “Janganlah kamu mencabut uban, karena sesungguhnya
uban itu adalah cahaya seorang muslim. Tiada seorang muslimpun yang
tumbuh sehelai uban dalam menegakkan Islam, kecuali Allah akan
mencatatkan baginya satu kebaikan, mengangkat derajatnya satu tingkat
dan menghapuskan satu kesalahannya” (H.R. Ahmad, Abu Daud,
Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah).* Anas ra berkata : “Kami tidak
menyukai seorang pria yang mencabut rambut putih dari kepala dan
jenggotnya”. (H.R. Muslim)* Dari Abi Hurairah ra, bersabda
Rasulullah SAW : “Orang-orang yahudi dan Nasrani tidak mencat
rambut mereka, maka bedakan dirimu engan mereka”. (H.R. Jama’ah).*
Dari Abi Dzar ra, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik bahan
untuk mewarnai uban adalah inai dan khatam”. (H.R. Khamsah).* Inai
dan khatam adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk
mencelup rambut yang berwarna hitam kemerah-merahan atau warna
pirang.
Rasulullah
SAW memerintahkan kepada Abu Quhafah, ayah Abu Bakar al-Shidiq agar
mengecat rambutnya dan agar menghindari warna hitam. Hal ini bila
dihubungkan dengan pernyataan al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri :
“Bila wajah kami masih padat, kami mencelup rambut dengan warna
hitam, tetapi bila wajah keriput dan gigi telah tanggal kami tidak
memakai itu lagi”. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak
bertentangan, karena waktu itu Abu Quhafah sudah sangat tua, sehingga
tidak layak lagi mencelup rambutnya dengan warna hitam. Perintah Nabi
SAW kepada Abu Quhafah dijelaskan dalam hadits berikut, Abi Quhafah,
yaitu ayah Abu Bakar al-Shiddiq didatangkan pada Nabi SAW waktu
terbukanya kota Mekah, sedang (rambut) kepalanya memutih bagaikan
kapas, Rasulullah saw bersabda : “Bawalah ia pada salah seorang
istrinya, agar mencelub rambutnya dengan suatu bahan pewarna rambut
dan hindarilah warna hitam”. (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari dan
Tirmidzi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar