Sabtu, 03 Maret 2012


Thaharah (bersuci)

Fadly
Senin, 24 Juli 2006 11:57:09
Hits: 6679
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Hukum Thaharah
1. Dalil Normatif Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).
Rasulullah bersabda (yang artinya), “Kunci salat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Salat tanpa wudu tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah saw. Bersabda, “Kesucian adalah setengah iman.” (HR Muslim).
2. Penjelasan tentang Thaharah
Thaharah itu terbagi menjadi dua bagian: lahir dan batin. Thaharah batin adalah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat dengan bertobat dengan sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat, dan membersihkan hati dari kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, khianat, sombong, ujub, riya, dan sum’ah dengan ikhlas, yakin, cinta kebaikan, lemah lembut, benar, tawadu, dan mengharapkan keridaan Allah SWT dengan semua niat dan amal saleh.
Adapun thaharah lahir adalah bersuci dari najis dan dari hadats (kotoran yang bisa dihilangkan dengan wudu, mandi, atau tayammum).
Thaharah dari najis adalah menghilangkan najis dengan air yang suci, baik dari pakaian orang yang hendak salat, badan, ataupun tempat salatnya. Thaharah dari hadats adalah dengan wudu, mandi, atau tayamum.
Alat Thaharah
Thaharah bisa dilakukan dengan dua hal.
1. Air mutlak, yaitu air asli yang tidak tercampuri oleh sesuatu apa pun dari najis, seperti air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju, dan air laut, berdasarkan dalil-dalil berikut. “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.” (Al-Furqan: 48). Rasulullah saw. bersabda,”Air itu suci, kecuali bila sudah berubah aromanya, rasanya, atau warnanya karena kotoran yang masuk padanya.” (HR Al-Baihaqi. Hadis ini daif, namun mempunyai sumber yang sahih).
2. Tanah yang suci, atau pasir, atau batu, atau tanah berair. Rasulullah saw. bersabda, “Dijadikan bumi itu sabagai masjid dan suci bagiku.” (HR Ahmad). Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, dan Karena sebab lain. Allah berfirman, “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.” (An-Nisa: 43).
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tanah yang baik (bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, kendati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya.” (HR Tirmizi, dan ia menghasankannya).
“Rasulullah saw. mengizinkan Amr bin Ash r.a. bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena ia menghawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.” (HR Bukhari).
Penjelasan tentang Hal yang Najis
Hal-hal yang najis adalah setiap yang keluar dari dua lubang manusia, berupa tinja dan air kencing, atau mazi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau wadi (cairan putih yang keluar selepas kencing), atau mani, air kencing, dan kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, darah, nanah, air muntahan yang telah berubah, bangkai dan organ tubuhnya kecuali kulitnya, karena jika disamak kulitnya menjadi suci. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kulit yang sudah disamak, maka menjadi suci.” (HR Muslim).
Faedah THAHARAH
KENAPA THAHARAH DULU?
Kalau anda membuka kitab-kitab fiqih, niscaya akan anda dapati bahwa para ulama memulainya dengan kitab thaharah. Apa rahasia dan sebabnya?! Minimal ada tiga alasan di balik itu semua:
Pertama: Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat yang merupakan ibadah yang paling utama.
Kedua: Pembersihan itu sebelum perhiasan. Seperti kalau ada anak putri yang masih kotor penuh debu dan kita ingin memakaikan padanya baju baru dan perhiasan, apakah akan langsung kita pakaikan ataukah kita memandikannya terlebih dahulu?! Demikian pula thaharah, dia adalah pembersihan dan shalat adalah perhiasannya.
Ketiga: Sebagaimana seorang membersihkan badannya maka hendaknya dia juga membersihkan hatinya. Hal ini merupakan peringatan kepada pembaca atau penuntut ilmu agar meluruskan niatnya terlebih dahulu dari kotoran-kotoran hati. [1]
RENUNGAN AYAT
Seorang wanita yang sedang haidh tidak boleh digauli suaminya  sehingga dia suci terlebih dahulu kemudian mandi darinya atau bertayammum. Hal ini merupakan madzhab mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah mandi, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[2]
Mujahid berkata: (يَطْهُرْنَ) yakni suci dari darah haidh, adapun  (تَطَهَّرْنَ) yakni mandi dengan air. Sebagian Zhohiriyyah[3] mengatakan: Maksud (تَطَهَّرْنَ) adalah membersihkan farji mereka, tetapi pendapat ini tidak benar karena Allah berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Dan jika kamu junub maka mandilah, [4]
Jadi kata (تَطَهَّرَ ) dalam al-Qur’an maksudnya adalah mandi. [5]
SUCINYA AIR
Suatu saat Abu Bakar al-Abhari ahli fiqih pernah duduk bersama Yahya bin Sha’id ahli hadits, lalu ada seorang wanita datang melontarkan pertanyaan kepada Yahya bin Sha’id: “Wahai syeikh! Bagaimana menurut anda tentang sumur yang kejatuhan bangkai ayam, apakah airnya tetap suci ataukah menjadi najis?!” Yahya menjawab: “
Lho, gimana ayam kok bisa jatuh di sumur?!
Wanita itu menjawab: “Karena memang sumurnya tidak tertutup”. Yahya berkata lagi: “Kenapa kamu tidak menutupinya agar tidak kejatuhan sesuatu yang tidak diinginkan”. Mendengar Yahya yang mengelak dari memberikan jawaban memuaskan, maka al-Abhari langsung berkata:
Wahai saudariku, apabila air di sumur tersebut berubah maka najis tetapi kalau tidak maka dia tetap suci“.
Kisah ini memberikan faedah kepada kita akan pentingnya mempelajari fiqih. Sungguh ilmu fiqih merupakan ilmu yang paling utama[6]. Apabila anda ingin mengetahui betapa agungnya kedudukan fiqih, maka lihatlah kedudukan al-Ashma’I dalam bahasa, Sibawaih dalam Nahwu, Ibnu Ma’in dalam rawi hadits, lalu bandingkah dengan kedudukan Imam Ahmad dan Syafi’I dalam fiqih!!. [7]
MANDI BESAR DAN JUMAT
Apabila berkumpul jinabat dengan mandi jumat, jinabat dan haidh, jum’at dan mandi hari raya. Bolehkah digabung jadi satu ataukah harus mandi dua kali untuk masing-masing?!  Masalah ini diperselisihkan ulama[8]. Pendapat yang kuat adalah boleh apabila dia meniatkan keduanya, berdasarkan zhahir keumuman dua hadits berikut:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya.[9]
مَنْ غَسَّل وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَدَنَا مِنَ الإِمَامِ فَأَنْصَتَ, كَانَ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا صِيَامُ سَنَةٍ وَقِيَامُهَا, وَذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Barangsiapa yang menggauli isterinya[10] kemudian mandi, berpagi-pagi, dekat dengan imam dan mendengarkan khutbah, maka setiap langkah yang dia langkahkan seperti puasa dan shalat malam selama satu tahun. Hal itu sangat mudah bagi Allah.[11]
Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama. Ibnu Mundzir berkata:
Mayotitas ahli ilmu yang kami ketahui berpendapat bahwa seorang yang mandi untuk jinabat dan jum’at dalam sekali mandi, hal itu sudah cukup“.[12]
AWAS! ITU TIPU DAYA IBLIS!
Diceritakan bahwa ada seorang pernah berkata kepada Imam Ibnu Aqil:
Saya menyelam dalam air berkali-kali, namun saya ragu apakah sah mandiku ataukah tidak, bagaimana pendapat anda?!
Ibnu Aqil menjawab:
Pergilah, karena engkau telah gugur dari kewajiban shalat. Orang itu bertanya: Bagaimana bisa seperti itu?! Beliau menjawab: Karena Nabi telah bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena dari tiga golongan, orang gila sehingga sadar, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh”.
Nah, kalau ada orang yang menyelam di air berkali-kali tapi kok masih ragu apakah sah mandinya ataukah tidak, dia termasuk kategori orang gila.[13]
DOA KELUAR-MASUK WC
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Dari Anas bin Malik berkata: Nabi apabila hendak[14] masuk wc beliau berdoa: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan/gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan”.[15]
Dalam lafadz ( اْلخُبُثِ ) ada dua bacaan; dengan dhommah dan sukun. Kalau dengan sukun (اْلخُبْثِ) maksudnya adalah segala kejelekan, sedangkan dengan dhommah (اْلخُبُثِ ) adalah syetan lelaki. Riwayat dengan sukun lebih umum, oleh karenanya riwayat mayoritas ahli hadits adalah dengan sukun[16].
Adapun hikmah doa ini sangat jelas, sebab wc adalah tempat kotor dan makhluk jahat seperti syetan, maka dianjurkan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan dan kejelekan, diantaranya adalah kejelekan syetan.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ
Dari Aisyah bahwasanya Nabi apabila keluar dari wc, beliau berdoa : “Ya Allah,  aku mohon ampunan-Mu”.[17]
Ada sebuah rahasia di balik doa ini, yaitu sebagaimana kotoran itu menyakitkan perut dan badan, demikian pula dosa, dia menyakitkan hati, maka dia berdoa kepada Allah untuk meringankan beban dosa sebagaimana Allah telah meringankan dirinya dari beban kotoran. Dan rahasia ucapan dan doa Nabi di atas lintasan hati seorang. [18]
TIDUR, PEMBATAL WUDHU
Apakah tidur membatalkan wudhu seorang?! Masalah ini diperselisihkan para ulama. Pendapat yang benar adalah bahwa tidur[19] membatalkan wudhu. Hal ini dikuatkan oleh Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kisah menarik sebagai berikut:
“Dahulu aku berfatwa kepada manusia bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak perlu berwudhu lagi, sehingga suatu saat ada seorang yang duduk di sampingku pada hari jum’at, diapun tidur dan mengeluarkan angin kentut!. Akupun berkata padanya: Bangun dan berwudhulah. Dia menjawab: Saya enggak tidur kok. Aku berkata lagi padanya: Tadi kamu keluar kentut, jadi wudhumu batal! Orang itupun malah bersumpah bahkan dia mengatakan kepadaku: Malah kamu yang kentut! Sejak itulah, saya merubah pendapatku yang lama bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak batal wudhunya. [20]
AIR PENGGANTI TANAH
Soal: Kita semua tahu bahwa tanah adalah pengganti air, yaitu ketika seorang tidak mendapati air untuk wudhu maka dia bertayammum dengan tanah.  Nah, tahukah anda kapan air bisa menjadi pegganti tanah?!
Jawab: Apabila ada seorang yang meninggal di kapal laut dan masih jauh dari daratan serta dikhawatirkan akan berubah baunya, maka pada kondisi seperti ini disyari’atkan untuk memandikannya, mengkafaninya, dan menyalatinya, kemudian mengikatnya dengan benda yang berat kemudian membuangnya ke laut karena tidak adanya tanah untuk menguburnya.
وَمَنْ مَاتَ فِيْ بَحْرٍ قَدْ عَزَّ دَفْنُهُ
فَفِي الْبَحْرِ يُلْقَى وَهُوَ بِالتُّرْبِ بُدِّلاَ
Barangsiapa mati di lautan dan berat untuk menguburnya
Maka dilempar ke laut sebagai ganti dari tanah[21].
MENYIBAK HIKMAH
Sebagai seorang muslim sejati, kita beriman dengan tatanan Syari’at Islam, baik kita ketahui hikmahnya ataukah tidak, namun bila penelitian menyibak hikmahnya, tentu saja hal itu akan lebih menambah kemantapan kita akan indahnya syari’at yang mulia ini. Berikut dua contoh yang telah dibuktikan oleh penelitian modern:
Dalam Majalah “American Family Physician” edisi bulan Maret 1990 M, dikutip komentar profesor Dizweel, seorang ketua rumah sakit di Wasingthon tentang khitan:
“Dahulu sekitar tahun 1975 M, saya termasuk musuh bebuyutan khitan, saya mengerahkan segala upaya untuk memerangi khitan. Hanya saja pada tahun delapan puluhan, banyak penelitian membuktikan banyaknya anak-anak yang tidak dikhitan mengalami kebengkakan pada alat saluran air seni. Sekalipun demikian saya pun belum berfikir untuk menjadikan khitan sebagai solusinya. Tetapi…setelah penelitian lama dan mempelajari masalah ini dalam majalah-majalah kedokteran tentang khitan, sayapun akhirnya menemukan hasilnya sehingga saya menjadi pembela khitan untuk para anak-anak”.[22]
Sebagian para dokter di universitas Mesir mengadakan penelitian tentang hubungan wudhu dengan kesehatan, lalu mereka menghasilkan sebuah hasil yang mengejutkan! Terbukti hidung orang yang tidak biasa berwudhu terlihat pucat, berminyak dan menyimpan debu. Demikian juga lubang hidung; lengket, kotor, berdebu dan rambut hidung mudah rontok. Hal ini sangat berbeda dengan hidung orang yang biasa berwudhu; bersih mengkilat, tanpa mengandung debu, rambut hidungnya juga nampak jelas dan bersih dari debu”..[23]
TIGA MASALAH DARAH NIFAS
1. Apabila seorang wanita keguguran maka ada dua kemungkinan:
Pertama: Janinnya belum membentuk, yakni masih berupa darah atau sekerat daging maka ini adalah darah kotor, bukan darah nifas sehingga dia tetap shalat.
Kedua: Janinnya telah membentuk seperti telah terlihat tangan, kaki atau kuku maka darahnya adalah darah nifas.[24]
2. Apabila ada seorang wanita melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah maka dia telah suci, baik melahirkannya secara tabiat yaitu lewat farji ataukah lewat perut karena operasi.[25]
3. Apabila ada seorang wanita melahirkan dua anak kembar, anak pertama pada tanggal satu dan anak kedua tanggal sepuluh misalnya dan dia mengeluarkan darah maka hal ini tetap dianggap nifas dan memulai hitungan hari baru kembali. [26]

[1] Tanbihul Afham hal. 7 dan Syarh Mumti’ 1/27, Ibnu Utsaimin.
[2] QS. Al-Baqarah: 222.
[3] Sebagaimana dalam kitab al-Muhalla 10/81 oleh Ibnu Hazm. Dan ini merupakan pendapat Atho’ sebagaimana dalam al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/96.
Faedah: Syaikh al-Albani menguatkan pendapat ini dalam kitabnya Adab Zifaf hal. 129, namun pendapat beliau yang terakhir  adalah menguatkan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana diceritakan oleh murid beliau Syaikh Husain al-Awayisyah dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah 1/281. Perhatikanlah!!
[4] QS.Al-Maidah: 6.
[5] Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/624-626.
[6] Menakjubkanku juga ucapan Ibnul Jauzi dalam Shaidhul Khathir hal. 289: “Bukti terbesar yang menunjukkan pentingnya sesuatu adalah melihat kepada buahnya. Maka barangsiapa memperhatikan buah fiqih, niscaya dia akan mengetahui bahwa dia merupakan ilmu yang paling utama, karena para ulama empat madzhab lebih unggul daripada manusia lainnya padahal di zaman mereka ada yang lebih alim dari mereka dalam al-Qur’an, hadits dan bahasa”.
[7] Al-Hatstsu ala Hifzhi Ilmi, Ibnul Jauzi hal. 24.
[8] Mengetahui perselisihan ulama sangat penting sekali. Alangkah indahnya ucapan Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan para fuqoha’, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”. (Jami’ Bayanil IlmI, Ibnu Abdil Barr  2/814-815).
[9] HR. Bukhari: 1 Muslim: 1907.
[10] Demikian penafsiran Waki’ dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/373)
[11] Shahih. Riwayat Abdur Razzaq 5570, Ahmad 4/9, Abu Dawud 345, Tirmidzi 496, Nasai 3/95, Ibnu Majah 1087 dengan sanad.
[12] al-Ausath 4/43.
[13] Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 166-167, Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 2/258.
[14] Arti ini secara jelas ditegaskan oleh riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad: 692  dengan sanad shahih.
[15] HR. Bukhori: 142, Muslim: 37.
[16] Sekalipun hal ini dianggap keliru oleh al-Khothtobi dalam Ishlah Aghlath Muhaditstsin hal. 28, namun pendapat beliau ini dibantah oleh para ulama semisal Imam Nawawi dalam Syarh Muslim 4/71 dan Ibnu Daqiq al-I’ed dalam Ihkamul Ahkam 1/96.
[17] HR.Tirmidzi: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300 dll. Dishohihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 52.
[18] Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 1/124.
[19] Maksudnya di sini adalah tidur lelap yang menjadikan seorang seperti hilang ingatan dan tidak mengetahui kejadian di depannya, bukan hanya sekedar ngantuk atau tidur setengah sadar. (Lihat Gharibul Hadits al-Khathabi 2/32, Subulus Salam ash-Shan’ani 1/252-253, Tamamul Minnah al-Albani hal. 101)
[20] al-Istidzkar 1/150, Ibnu Abdil Barr.
[21] Ad-Durar al-Bahiyyah fil Alghoz al-Fiqhiyyah, Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Arifi hal. 8
[22] Asrar Khitan Tatajalla fi Thibbi Hadits, Hassan Syamsi Basya, hal. 29-31.
[23] (Al-Istisyfa’ bis Sholat, Zuhair Rabih Qoromi Dinukil dari Nawadir Syawarid, Muhammad Khair Ramadhan, hal. 275, 282)
[24] 60 Sualan ‘an Ahkamil Haidh, Ibnu Utsaimin hal. 15-16.
[25] Hasyiyah Raddil Muhtar, Ibnu Abidin 1/199.
[26] al-Ahkam Syar’iyyah lid Dima’ ath-Thabi’iyyah, Dr. Abdullah ath-Thayyar hal. 121.
Related posts:


Pengertian Thaharah
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222 
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Macam – macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.
Macam – macam najis dibagi 3 :
1. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan salah satunya dengan tanah.
2. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau minum apa – apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau sifatnya.
3. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.

Macam – macam Hadats dibagi 2 :
1. Hadats besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci, maka ia harus mandi atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats besar ialah :
a. Bersetubuh baik keluar mani ataupun tidak
b. Keluar mani, baik karena bermimpi atu sebab lain
c. Meninggal dunia
d. Haid, nifas dan wiladah

2. Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia harus wudhu atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats kecil ialah :
a. Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
b. Karena hilang akalnya disebabkan mabuk, gila atau sebab lain seperti tidur
c. Karena persentuhan antara kulit laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya tanpa batas yang menghalanginya Karena menyentuh kemaluan
Perbedaan antara hadats,kotoran, dan najis
Hadats dan najis merupakan sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat. Hadats berbeda dengan najis karena hadats berarti keadaan dan bukan suatu benda atau zat tertentu sedangkan najis berarti benda atau zat tertentu dan bukan suatu keadaan. Adapun kotoran memiliki makna yang lebih umum dari najis, sebab meliputi pula sesuatu yang kotor namun tidak menghalangi seseorang melakukan ibadah, contohnya tanah, debu dan lain - lain.

Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah sedang menurut syara’ artinya membersihkan anggota wudlu untuk menghilangkan hadas kecil.
Syarat Wudhu
 Islam
 Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
 Tidak berhadas besar.
 Dengan air yang suci dan menyucikan.
 Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
Rukun Wudhu
 Niat.
 Membasuh seluruh muka.
 Membasuh kedua tangan sampai ke siku.
 Menyapu sebagian kepala.
 Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki.
 Menertibkan rukun-rukun diatas.
Sunnah Wudhu
 Membaca basmalah pada permulaan wudhu.
 Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan.
 Berkumur-kumur.
 Membasuh lubang hidung sebelum berniat.
 Menyapu seluruh kepala dengan air.
 Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
 Menyapu kedua telinga luar dan dalam.
 Meniga kalikan membasuh.
 Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
 Membaca doa sesudah wudhu.
Yang Membatalkan Wudhu
 Keluar sesuatu dari qubul dan dubur.
 Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk, dan tidur nyenyak.
 Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dengan tidak memakai tutup.
 Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari-jari yang tidak memakai tutup.
Cara Berwudhu
• Membaca basmalah, sambil mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan sampai bersih.
• Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi.
• Mencuci lubang hidung tiga kali.
• Mencuci muka tiga kali.
• Mencuci kedua belah tangan hingga siku-siku tiga kali.
• Menyapu sebagian rambut kepala tiga kali.
• Menyapu kedua belah telinga tiga kali.
• Mencuci kedua belah kaki tiga kali sampai mata kaki.

Pengertian Tayamum
Tayamum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu

Syarat Tayamum

 Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak bertemu.
 Berhalangan menggunakan air misalnya; karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
 Telah masuk waktu shalat.
 Dengan debu yang suci.
Rukun Tayamum
 Niat
نو يت التيمم لا ستبا حة الصلا ة فر ضا لله تعا لى
Artinya: “saya berniat tayamum untuk diperbolehkan shalat karena allah ta’ala”
 Mengusapkan muka dengan debu tanah dengan dua kali usapan.
 Mengusap dua belah tangan hingga siku dengan debu tanah dua kali.
 Memindahkan debu kepada anggota yang diusapkan.
 Tertib.

SunahTayamum
 Membaca basmalah.
 Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
 Menepiskan debu

Yang Membatalkan Tayamum
 Segala yang membatalkan wudhu.
 Melihat air sebelum shalat kecuali yang bertayamum karena sakit.
 Murtad.

Pengertian mandi jinabah
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : “dan jika kamu junub maka mandilah”
Mandi Jinabah adalah mandi dikarenakan keadaan junub yaitu disebabkan hal-hal berikut :
 Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak.
 Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak; dengan perbuatan sendiri atau bukan.
 Mati; dan matinya itu bukan mati syahid.
 Karena selesai nifas.
 Karena wiladah.
 Karena selesai haid.
Rukun mandi
 Niat
نو يت الغسل لر فع الحدث الا كبر فر ضا لله تعا لى
 Artinya : “saya berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena allah ta’ala
 Membasuh seluruh badan dengan air yakni meratakan air kesemua rambut dan kulit.
 Menghilangkan najis.
Sunnah mandi
 Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
 Membaca basmalah pada permulaan mandi.
 Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan dari pada kiri.
 Membasuh badan sampai tiga kali.
 Membaca do’a sebagaimana membaca do’a sesudah berwudlu.
 Mendahulukan mengambil air wudlu yakni sebelum mandi; disunahkan berwudlu lebih dahulu.
Larangan bagi yang haid
 Bersenang-senang dengan apa yang antara pusar dan lutut.
 Berpuasa baik sunah maupun wajib.
 Dijatuhi thalak (cerai).
 Melakukan tawaf di Baitullah


Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri”. (QS Al-Baqarah : 222).
Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan suci, sedangkan berdasarkan pengertian syara`, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, khususnya pada saat kita hendak shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati. Thaharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin.
Allah swt berfirman,
Hai orang yang berselimut. Bangunlah, kemudian berilah peringatan !, dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu“. (QS. Al-Muddatstsir : 1-4).
Adapun thaharah daripada najis dapat dilakukan dengan beberapa cara:
  • Istinja, yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air.
  • Memercikkan Air, yaitu memercikkan air ke bagian yang terkena najis kecil (mukhaffafah).
  • Mencuci atau membasuh dengan air, yaitu dengan membasuh dengan air yang mengalir sampai pada bagian yang terkena najis sedang (mutawasithah) hilang tanda-tanda kenajisannya.
  • Menyamak,hal ini dilakukan untuk menyucikan diri dari najis berat.
Adapun thaharah daripada hadats dapat dilakukan dengan beberapa cara:
  • Wudhu, yaitu membasuh muka, kedua tangan, kepala dan kedua kaki dengan air, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
  • Tayamum, yaitu membasuh muka dan kedua tangan dengan tanah suci sebagai pengganti wudhu jika air tidak ditemukan, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
Allah swt berfirmanـ,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Maidah : 6)
  • Mandi, yaitu mensucikan diri dari hadats besar dengan membasuh secara merata ke seluruh tubuh dengan air.
Istinja’
Istinja’  yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya
Allah swt berfirman,
Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at Taubah :108)
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya (yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul) diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Seseorang dikatakan suci dengan menggunakan batu dan benda lain yang suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.
Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak memperbolehkan seseorang untuk beristinja` dengan menggunakan tulang ataupun suatu benda yang dimuliakan. Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)
Wudhu
Wudhu dilakukan untuk menghilangkan hadats kecil ketika kita akan menunaikan shalat. Rasulullah saw menganjurkan ummatnya untuk selalu menjaga dan menyempurnakan wudhu-nya
Wudlu mempunyai keistimewaan, sebagaimana banyak hadits Rasulullah saw, di antaranya:
1. “Dan dari Anas ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Dengan perangai yg baik yg terdapat pada seorang laki2, Allah menyempurnakan segala amalnya dan dengan bersucinya untuk mengerjakan sholat, Allah menghapus dosa2nya, hingga bulatlah sholat itu menjadi pahala baginya.” (HR Abu Ya’la, Bazzar, dan Thabrani dalam Al Ausath)
2. “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasululloh SAW bersabda:”Maukah aku tunjukkan padamu hal2 dengan mana ALLOH menghapuskan dosa2mu serta mengangkat derajatmu?” “Mau ya Rasululloh”,ujar mereka. “Menyempurnakan wudlu menghadapi segala kesusahan, dan sering melangkah mengunjungi masjid, serta menunggu sholat demi sholat. Nah, itulah dia perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan!” (HR Malik, Muslim, Turmudzi, dan Nasai)
Pembagian Jenis Najis
Najis terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Najis Mukhaffafah:
Najis yang ringan yaitu air seni anak lak -laki di bawah umur dua tahun yang belum makan makanan kecuali air susu ibunya saja. Cara menyucikannya cukup dengan dipercikkan air saja pada bagian yang terkena najis tersebut.
2. Najis Mughallazah:
Najis yang berat yaitu anjing, babi dan keturinan kedua-duanya. Jika seseorang terkena anggota binatang tersebut dalam keadaan basah wajib disucikan dengan disamak. Cara menyucikannya ialah dengan dicuci tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya hendaklah dengan air tanah.
3. Najis Mutawassitah:
Najis pertengahan yaitu selain najis mukhaffafah dan najis mughallazah. Cara menyucikannya jika ada ain, hendaklah dihilangkan ainnya itu dan segala sifatnya yaitu rasanya, baunya dan warnanya. Jika setelah dicuci didapati masih tidak hilang rasanya seperti kesat, hendaklah dicuci lagi hingga hilang rasa itu. Setelah itu jika tidak hilang juga, ia dimaafkan. Jika bau atau wama najis itu masih tidak hilang setelah dicuci dan digosok tiga kali, hukumnya adalah dimaafkan. Jika najis itu sudah tidak ada lagi ainnya dan tidak ada lagi sifatnya seperti air kencing yang sudah kering pada kain dan hilang sifatnya, cukuplah dengan dicucuri air pada tempat yang terkena najis itu (najis hukmi). Arak apabila telah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya suci dengan syarat tidak dimasukkan benda lain di dalam tempat pemeramannya.
Pembagian Jenis Hadats
Hadats terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hadats Kecil (Shughra):
Hadats yang mengakibatkan seseorang harus berwudhu atau bertayamum untuk menghilangkannya. Adapun hadats shughra disebabkan oleh beberapa hal:
1. Buang Air (baik dari dubur maupun qubul)
2. Buang Angin
3. Hilang Akal sepert Tidur, Pingsan, ataupun Gila.
4. Menyentuh wanita yang bukan muhrim dengan sengaja tanpa ada penghalang.
5. Tersentuh kemaluan (qubul dan dubur) dengan telapak tangan atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (baik miliknya sendiri ataupun orang lain)
1. Hadats Besar (Kubra):
Hadats yang mengakibatkan seseorang harus mandi untuk menghilangkannya. Adapun yang menyebabkan seseorang harus mandi adalah:
1. Berhubungan kelamin (bersetubuh) walaupun tidak sampai keluar mani (sperma).
2. Mengeluarkan mani (sperma) baik sengaja (onani) ataupun tidak (mimpi).
3. Wanita yang selesai haid.
4. Wanita yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya.
5. Seseorang yang baru masuk Islam.
Dengan demikian, thaharah merupakan suatu yang sangat istimewa dan yang membedakan seorang mukmin dari kafir, maka hendaknya kita semua selalu menjaga kebersihan dan kesucian diri, pakaian, dan tempat kita, sebagai awal kita mensucikan hati kita. Dan semoga Allah swt meridhoi segala niat dan amal perbuatan kita. Amiin…








Senin, 12 Mei 2008

KITAB THAHARAH

Thaharah menurut pengertian etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan suci”. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri dari hadats atau najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan sebagainya. Masih dalam pengertian bersuci, kegiatan yang serupa dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau mencuci dengan berulang kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang disunnahkan dan yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan hadats atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222). *
Bersuci atau berthaharah berkaitan langsung dengan (1) alat bersuci, seperti air, tanah, batu dan sebagainya. (2) kaifiat atau cara bersuci, (3) macam dan jenis najis yang harus dihilangkan, dan (5) sebab-sebab yang mengakibatkan wajibnya bersuci. Bersuci terdiri dari dua bagian yaitu bersuci dari (1) hadats yang terdiri dari dua bagian pula, yaitu hadats besar dan hadats kecil. Hadats besar disucikan dengan jalan mandi, sedangkan hadats kecil dilakukan denngan cara berwudhu. (2) bersuci dari najis, dengan jalan mencuci benda yang kena najis, sehingga hilang materi najis itu, warna, rasa dan baunya.
Air Sebagai Alat Bersuci
Air digunakan sebagai alat bersuci berdasarkan firman Allah SWT. Dan ketetapan Rasulullah SAW misalnya, “dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu...” (Q.S. al-Furqan, 25 : 28)*
Penggunaan air untuk bersuci dijelaskan dalam beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya, setelah Rasulullah mengucapkan takbiratul ihram untuk shalat, beliau berhenti sejenak untuk membaca al-Fatihah. Seorang sahabat bertanya kepadanya, “apa yang engkau baca?” Nabi SAW menjawab : “Wahai Allah jauhkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau menjauhkan timur dan barat. Wahai Allah sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana disucikannya kain yang putih dari noda kotoran. Wahai Allah, sucikanlah diriku dari kesalahan-kesalahan dengan air es dan air embun”. (H.R. Jama’ah kecuali Turmudzi)*
Hadits berikutnya mengenai suci dan mensucikannya air laut, diriwayatkan seorang pria bertanya pada Nabi SAW : “Wahai Rasulullah SAW, kami berlayar ditengah laut, sedangkan kami hanya membawa sedikit air. Bila kami gunakan air itu untuk berwudhu, kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu’ dengan air laut?” Nabi SAW menjawab : “Air laut itu suci dan bangkai (ikan)nya halal”. (H.R. Khamsah)*.
Air yang digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yaitu (1) air hujan, (2) air laut, (3) air sungai, (4) air sumur, (5) air sumberan (berasal dari mata air), (6) air es (salju) dan (7) air embun. Keterangan mengenai macam air di atas, telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, sedangkan pada air sumur diterangkan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berwudhu’ dengan air sumur budhu’ah, padahal orang banyak, orang yang mens dan junub datang ke sana”. Nabi bersabda : “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (dihasankan Turmudzi, dishahihkan oleh Ahmad dan lainnya).*
Pembagian Air
Air sebagai alat untuk bersuci, dibagi menjadi empat bagian yaitu (1) air yang suci dan mensucikan, (2) air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan, (3) air yang terkena najis, (4) air yang makruh untuk digunakannya.
Air yang suci dan dapat mensucikan adalah air yang asli, disebut juga air mutlak. Ia boleh diminum, bisa mensucikan sesuatu yang kena najis dan bisa untuk bersuci secara umum. Air yang termasuk dalam kategori ini adalah air yang asli, bukan air yang telah dipakai untuk bersuci, seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumberan dari mata air, air embun, air es dan sebagainya. Perubahan air dari air yang asli, tidak selamanya mengubah status air itu yang suci dan mensucikan, seperti dalam perubahan berikut ini :
  1. Berubahnya air disebabkan oleh tempatnya, seperti air yang mengalir pada batu kapur atau batu belerang.
  2. Perubahan air karena lama tergenang dalam kolam atau bak mandi.
  3. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan oleh ikan atau tumbuh-tumbuhan air.
  4. Berubah disebabkan oleh tanah yang suci, demikian juga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang sulit dihindari, seperti daun-daunan yang berjatuhan kedalamnya atau batang pohon yang runtuh sehingga mengenai air tersebut. (Taqy al Din : tt, h.7 bandingkan Sulaiman Rasyid : 1994, h.29).
Air suci tetapi tidak mensucikan, status air itu suci, tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci atau mensucikan benda yang terkena najis. Termasuk dalam kelompok ini terdapat tiga macam air, yaitu :
  1. Air yang telah berubah salah satu sifatnya, disebabkan bercampur dengan benda yang suci, selain dari perubahan tersebut di atas, seperti air kopi, air susu dan yang serupa dengan itu.
  2. Air yang sudah dipakai untuk bersuci disebut air musta’mal, yang tidak berubah sifatnya dan air itu jumlahnya kurang dari dua qulah. Air dua qulah, kurang lebih berukuran satu hasta, lebar, panjang dan tingginya atau kira-kira berukuran 60 cm3 (Taqy al Din : tt, h.11). mengenai penjelasan ini banyak dikemukakan pendapat para ahli yang bervariasi. Sebagai pedoman awal kita pegangi pukuran tersebut.
  3. Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari batang pohon tebu, batang aren, air kelapa dan serupa dengan itu.
Air yang kena najis, ada dua macam yaitu (a) air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, air ini dihukumi najis, tidak boleh dipakai untuk bersuci, baik air itu dalam jumlah sedikit ataupun banyak. (b) air yang terkena najis yang tidak berubah salah satu sifatnya, bila sedikit, kurang dari dua qulah maka hukumnya najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci. Bila jumlahnya mencapai dua qulah atau lebih maka hukumnya menjadi suci dan mensucikan. Nabi SAW bersabda : “Air itu tidak dinajiskan sesuatu, kecuali bila berubah rasa, warna atau baunya”. (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqqi).* “bila air itu mencapai dua qulah tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (H.R. Ahli Hadits yang Lima).*
Air yang makruh dipakai, adalah air yang terjemur sinar matahari dalam bejana, selain bejana emas dan perak. Air itu tetap suci dan mensucikan, tetapi makruh digunakan untuk bersuci berkaitan dengan tubuh, tidak dimakruhkan untuk mencuci pakaian. Air yang terkena panas matahari yang berada dalam kolam, sawah, danau dan sebagainya, tidak dimakruhkan untuk bersuci. Diriwayatkan dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada sinar matahari maka bersabda Rasulullah SAW. Kepadanya : “Jangan berbuat begitu wahai Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit supak”. (H.R. Baihaqi).*
Benda-Benda Najis
Segala macam benda, hukum dasarnya adalah suci, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda-benda yang tergolong najis berdasarkan dalil syar’i adalah : (1) bangkai, kecuali bangkai belalang dan ikan, baik ikan tawar maupun laut, (2) darah, (3) nanah, (4) yang keluar dari dua jalan manusia, qubul atau dubur, seperti tinja, air seni, wadi dan madzi, kecuali air mani. (5) muntahan, (6) khamr atau minuman keras, (7) anjing, (8) babi, (9) air susu hewan yang haram dimakan dan (10) bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya.
Keterangan di atas berdasarkan pada dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala”. (Q.S. al-Maidah, 5 : 3).* Bangkai belalang dan ikan berdasarkan pada sabda Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu (1) ikan, (2) belalang, (3) hati, dan (4) limpah”. (H.R. Ibnu Majah).* Kulit bangkai dan tulang yang telah disamak, hukumnya suci kecuali bangkai anjing dan babi, berdasarkan Hadits Nabi SAW : “Apabila kulit bangkai di samak, maka menjadi suci”. (H.R. Muslim).
Darah dan nanah tergolong najis berdasarkan ayat di atas, kecuali darah yang menempel pada hati dan limpah yang sulit dihilangkan, maka tidak diharamkan berdasarkan hadits yang menyatakan tentang halalnya ikan dan belalang. Najisnya kotoran yang keluar dari qubul dan dubur, seperti tinja, air kencing, wadi dan madzi berdasarkan sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya Rasulullah SAW, ketika diberikan kepadanya dua biji batu dan tinja kering yang keras, untuk dipakai istinja’, beliau mengambil kedua batu itu sedangkan tinja beliau tolak, seraya bersabda : “Tinja ini najis”. (H.R. Bukhari).*
Mengenai najisnya air kencing, wadi dan madzi dijelaskan Nabi SAW. Ketika seorang Badwi kencing dalam masjid, Nabi bersabda : “Bersihkanlah air kencing itu dengan seember air”. (H.R. Baihaqi dan Muslim).* dari Ali kw. Berkata: Aku seorang pria yang sering keluar madzi, aku malu untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, karena sebagai menantunya maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada beliau. Nabi menjawab : “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’”. (H.R. Muslim).* Madzi adalah sedikit cairan yang agak kental yang keluar dari kemaluan, disebabkan oleh adanya sedikit rangsangan, keluarnya cairan ini biasanya tidak terasa. Sedangkan wadi adalah sedikit cairan yang agak kental, yang keluar dari kemaluan, biasanya mengiringi air kencing atau karena terlalu lelah, sehabis bekerja (Sayyid Sabiq): 1998, h. 20). Muntahan disepakati sebagai bagian dari najis karena kotor, makanan yang telah muntah itu telah masuk dalam perut, maka dihukumi najis.
Air mani hukumnya suci, berdasarkan pada keterangan, bahwa Nabi SAW ditanya mengenai air mani yang menempel pada pakaian, beliau menjawab : “Air mani itu seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu membersihkannya dengan secarik kain atau sehelai daun”. (H.R. Baihaqi, Daru Quthni dan Thahawi).* Meskipun suci, air mani disunnahkan untuk dicuci apabila basah dan dibersihkan atau dikerok bila kering. Berkata Aisyah ra : “Ku kerok mani itu dari kain Rasulullah SAW bila ia kering dan kucuci bila ia basah”. (H.R. Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).*
Minuman keras atau khamer, dihukuni najis berdasarkan pada firman Allah : “...Sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan”. (Q.S. al-Maidah 5 : 90).* Anjing dan babi termasuk benda yang najis, berdasarkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan daging babi dan sabda Nabi SAW yang menjelaskan najisnya anjing. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Cara mencuci bejanamu yang dijilat oleh anjing, adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali yang pertamanya hendaklah dicampur dengan tanah”. (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).*
Air susu hewan yang tidak halal dimakan tergolong najis, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’min : “Yang tergolong najis adalah empedu dan air susu hewan yang tidak dimakan, kecuali manusia”. (Zain al-Din, tt. H. 11). Sedangkan bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya selagi masih hidup, dianggap najis, karena dikategorikan sebagai bangkai. Bulu hewan yang halal dimakan hukumnya suci, misalnya bulu ayam, burung, kambing dan sebagainya. Firman Allah SWT: “...dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”. (Q.S. an-Nahl, 16 : 80).*
Pengelompokan Najis dan Cara Mensucikannya
Ahli Fiqh membagi najis, dari segi berat dan ringannya, menjadi tiga bagian, yaitu (1) najis Mughallazhah atau najis yang berat, (2) najis Mutawasithah atau pertengahan dan (3) najis Mukhafafah atau najis yang ringan. Najis mugallazhah ada pada anjing dan babi. Cara mencucinya adalah membasuh benda yang kena najis itu sampai hilang materi najisnya, warna, bau dan rasanya, dibasuh sampai tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Najis Mutawasithah adalah najis-najis yang telah disebutkan di atas, selain anjing dan babi, seperti kotoran, bangkai dan sebagainya. Najis Mukhafafah adalah air kencing anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu.
Cara membersihkan semua najis tersebut adalah harus hilang, materi najis itu, warna, rasa dan baunya. Sedangkan najis mukhafafah cukup dengan memercikkan air kepadanya. Penjelasan mengenai beberapa dalil mengenai najis tersebut telah diuraikan pada kajian mengenai benda-benda najis, sedangkan mengenai cara mensucikan benda yang terkena najis mukhafafah disebutkan sabda Nabi SAW : “Kencing anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki diperciki air”. (H.R. Tirmidzi).*
Dari segi hukumnya, najis dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) najis ‘ainiyah dan (2) najis hukmiyah. Najis ‘ainiyah adalah benda najis yang masih ada materinya, seperti zat, rasa dan bau. Najis hukmiyah adalah najis yang materinya sudah hilang, seperti air kencing yang sudah kering. Secara hukum ia najis tapi materi najisnya sudah hilang, cara mensucikan benda yang terkena najis ‘ainiyah, dicuci sehingga hilang materi najis itu, rasa, warna dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sulit dihilangkan maka dimaafkan. Benda yang kena najis hukmiyah, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda tersebut. (Sulaiman Rasyid : 1994, h. 36).
Istinja : Bersuci Karena Buang Air
Apabila seorang buang air besar air kecil, diwajibkan bersuci atau istinja dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang dimaksud dengan batu adalah tiap-tiap benda yang keras, suci dan kesat seperti kayu dan sebagainya. Menurut hemat penulis, pada saat sekarang ini sangat sulit bila mencari batu untuk bersuci, karena itu bila tidak ada air bisa dilakukan dengan tissue atau yang sejenisnya. Syarat istinja dengan batu, kayu atau tissue, hendaklah sebelum kotoran itu kering dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Bila kotoran itu telah kering dan telah mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak disyahkan istinja dengan batu, kayu atau tissue, tetapi harus bersuci dengan air.
Uraian tersebut berdasarkan pada beberapa hadits berikut: “Sesungguhnya Rasulullah melewati dua kuburan, seraya bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang ada dalam kuburan itu sedang disiksa. Salah satunya disiksa karena mengadu domba sesama manusia dan yang lain disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Apabila salah seorang diantaramu bersuci dengan batu, hendaklah batu itu hitungannya ganjil”. (H.R. Bukhari & Muslim).* “Berkata Sulaiman : Rasulullah SAW melarang kami untuk bersuci dengan batu kurang dari tiga”. (H.R. Muslim).*
Adab Buang Air
Bagi setiap orang yang akan buang air besar atau air kecil diarahkan agar memperhatikan adab-adabnya, sebagai berikut : (1) tidak membawa sesuatu yang memuat nama Allah, kecuali bila dikhawatirkan akan hilang. Anas ra meriwayatkan : “Sesungguhnya Nabi SAW memakai cicin yang berukiran Muhammad Rasulullah dan bila beliau masuk WC maka cincin itu ditanggalkannya” (H.R. Arba’ah).* (2) Menjauhkan diri dari orang lain agar tidak mengganggu mereka, baik karena bau atau suaranya. Jabir ra meriwayatkan : “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW pada suatu perjalanan. Beliau tidak membuang air kecuali bila telah lepas dari penglihatan manusia”. (H.R. Ibnu Majah). Menurut riwayat Abu Dawud : “Beliau bermaksud hendak buang air beliau pergi jauh hingga tidak terlihat orang lain”.*
Adab yang ke (3) membaca basmalah dan isti’adzah secara jahar (jelas), waktu hendak masuk WC. Anas ra meriwayatkan : “Apabila Nabi SAW hendak masuk WC, beliau membca bismillahi allahumma inni audzubika minal khubutsi wal khabaitsi (dengan nama Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan)”. (H.R. Jama’ah).* (4) Tidak berbicara pada waktu buang air, kecuali sangat penting sekali. Ibnu Umar ra meriwayatkan : “Sesungguhnya seorang pria lewat pada Nabi SAW, beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam. Nabi SAW tidak menjawab salam orang tersebut”. (H.R. Jama’ah kecuali bukhari).* “Jangan keluar dua orang laki-laki pergi ke WC sambil membuka aurat dan bercakap-cakap, karena Allah SWT mengutuk perbuatan seperti itu”. (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).*
Adab selanjutnya (5) tidak menghadap atau membelakangi kiblat, kecuali berada dalam ruangan atau ada tabir yang menghalanginya. Bersabda Rasulullah SAW : “Apabila salah seorang diantaramu duduk untuk buang air, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya”. (H.R. Ahmad & Muslim).* Ibnu Umar meriwayatkan : “Pada suatu hari aku naik ke rumah Hafsah, maka aku melihat Nabi SAW buang air sambil menghadap ke Syam dan membelakangi ka’bah”. (H.R. Jama’ah).* Al-Ashghar berkata :”Aku melihat Ibnu Umar memberhentikan kendaraannya ke arah kiblat dan buang air kecil menghadap ke sana”. Aku bertanya kepadanya :”Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Ibnu Umar), bukankah itu dilarang?” Ia menjawab : “Memang benar, tetapi hal itu hanya dilarang di lapangan terbuka. Maka bila diantaramu dengan kiblat ada penghalang, tidak menjadi masalah”. (H.R. Abu Dawud, Abu Hurairah dan hakim).*.
Adab berikutnya (6) buang air pada tempatnya, atau mencari tempat yang wajar, sehingga anggota badan atau pakaian tidak terkena najis. Bersabda Nabi SAW : “Apabila salah seorang diantaramu buang air kecil, hendaklah ia memilih tempat yang sesuai”. (H.R. Ahmad & Abu Dawud).* (7) Tidak buang air dalam lubang, karena dimungkinkan akan menyakiti hewan atau makhluk lain yang ada di dalamnya. Abdullah bin Sarjid meriwayatkan : “Nabi SAW melarang buang air kecil dalam lubang”. Mereka bertanya pada Qutadah : “Mengapa dilarang kencing di dalam lubang?”. Ia menjawab : “Karena lubang adalah tempat tinggal jin”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi).*
(8) Agar menghindari tempat orang bernaung, berkumpul, beristirahat atau jalan umum. Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi SAW bersabda : “Takutlah kamu pada kutukan orang banyak”. Mereka bertanya : “Siapakah mereka itu?”. Nabi SAW menjawab : “Dia yang buang air di jalan atau tempat bernaung atau tempat beristirahat mereka” (H.R. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).* (9) Tidak buang air di tempat mandi, pada air tergenang ataupun air yang mengalir. Abdullah Mughaffal meriwayatkan : “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang diantaramu buang air kecil ditempat mandinya, kemudian ia berwudhu di sana karena pada umumnya waswas (keraguan) itu berasal dari sana”. (H.R. Khamsah).* Kalimat “kemudian ia berwudhu di sana”, hanya terdapat dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud. Jabir ra meriwayatkan : “Nabi SAW melarang buang air kecil pada air yang tergenang”. (H.R. Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah).* Juga diriwayatkan olehnya : “Sesungguhnya Nabi SAW melarang membuang air kecil pada air yang mengalir”. (H.R. Thabrani) (Sayyid Sabiq : 1998, h.26)*
(10) Karena dianggap tidak sopan agar tidak kecing sambil berdiri, hal itu juga mengakibatkan air seni menyebar kemana-mana, kecuali kalau tempatnya tidak memungkinkan, atau kesulitan melakukannya. Misalnya bagi orang yang memakai celena panjang, sukar melakukan kencing sambil duduk (mendek), sedangkan tempat buang air kecil disediakan sambil berdiri (urinoir), maka kecing sambil berdiri tidak menjadi masalah. Sayyidah Aisyah ra berkata : “Siapa yang menceritakan bahwa Rasullah SAW kencing sambil berdiri, jangan dipercaya. Beliau tidak pernah kencing kecuali sambil duduk”. (H.R. Khamsah).* Aisyah ra menjelaskan yang sesungguhnya apa yang ia ketahui perihal Nabi SAW, karena itu hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan hudzaifah yang mengetahui perbuatan Nabi yang tidak dilihat Aisyah. Ia meriwayatkan : “Sesungguhnya Nabi SAW sampai ke suatu kaki bukit milik suatu kaum, kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri. Aku pergi menjauh darinya, tetapi nabi SAW mengatakan : “Mendekatlah kemari”, maka akupun mendekat sehingga berdiri dekat tumitnya, Nabi SAW kemudian berwudhu’ dan menyapu kedua sepatunya”. (H.R. Jama’ah).
(11) Wajib bersuci dengan menghilangkan najis dari kemaluan (qubul) atau dubur (anus) dengan air, atau dengan batu, kayu atau tissue atau yang serupa dengannya. Atau dengan keduanya; yaitu dengan batu, kayu atau tissue kemudian dengan air. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda : “Apabila ada salah seorang diantaramu buang air, maka bersucilah (istinja’) dengan tiga buah batu, karena dengan demikian itu cukuplah baginya”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni).* Dari Aisyah ra : “Ketika Rasulullah memasuki WC, maka aku bersama seorang anak yang sebaya denganku, membawa seember kecil air dengan gayung, maka beliaupun bersuci dengan air itu”. (H.R. Buhari & Muslim).* Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW melewati suatu kuburan seraya bersabda : “Dua orang ini sedang mengalami siksaan, hal itu bukanlah disebabkan perkara yang berat. Salah seorang disebabkan tidak bersuci dari buang air kecil dan yang lain disebabkan dengan karena adu domba”. (H.R. Jama’ah).*
(12) Bersuci atau beristinja’ dengan tangan kiri, sebagaimana diriwayatkan : “Dikatakan orang pada Salman : “Nabimu telah mengajarimu segala sesuatu sampai soal kotoran”. Salman Menjawab : “Benar, Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat, ketika membuang air besar dan air kecil, atau bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan benda najis atau bersuci dengan tulang”. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Timidzi).* Dari Hafsah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW selalu mempergunakan tangan kanannya untuk makan, minum, mengganti pakaian, memberi dan menerima, dan menggunakan tangan kirinya untuk selain dari itu”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, Hakim dan Baihaqi).* (13) Menggosok tangan dengan tanah setelah bersuci atau mencucinya dengan sabun atau yang serupa itu, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Abu Hurairah meriwayatkan : “Nabi SAW bila pergi ke WC, kubawakan baginya air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit, maka beliaupun bersuci, lalu mengusapkan tangannya ke tanah”. (H.R. Abu Daud, al-Nasai, Baihaqi dan Ibnu Majah).*
Untuk melenyapkan keraguan dan waswas, hendaknya (14) memerciki kemaluannya dengan air setelah bersuci, sehingga bila nanti kedapatan basah, maka akan beralasan bahwa yang basah dicelana itu adalah air percikan tadi bukan air kencing. Sofyan bin Hakam meriwayatkan : “Adalah Nabi SAW bila buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya dengan air”. Ibnu Umar biasa menyiram kemaluannya sehingga celananya jadi (sedikit) basah. (Sayyid Sabiq, 1998, h.29).* (15) Masuk ke dalam WC dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, sambil membca do’a : “Ghufranaka” artinya “aku memohon ampunan-Mu”. Dari Aisyah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW apabila keluar dari WC mengucapkan kalimat “ghufranaka”. (H.R. Khamsah kecuali al-Nasai).*
Sunah Fitriyah
Masih berkaitan dengan thaharah atau kebersihan, diperintahkan kepada setiap orang muslim agar melakukan sunah fitri yang berkaitan dengan tubuh dan aturan-aturan yang melingkupinya secara teratur dan berkesinambungan. Perintah tersebut berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan-ketetapannya. Yang termasuk dalam sunah fitriyah adalah : (1) Khitan (circumicio), (2) mencukur bulu kemaluan, (3) membersihkan bulu ketiak, (4) memotong kuku, (5) memendekkan kumis atau memeliharanya dengan baik, (6) memelihara jenggot, (7) memelihara kerapihan rambut, (8) membiarkan uban atau mencelupnya dengan inai yang berwarna merah atau kuning, (9) menggunakan minyak wangi atau parfum.
Khitan atau circumicio adalah memotong kulit (kuncup) yang menutupi kemaluan atau glan penis, untuk menjaga kebersihan dan kesuciannya, sehingga terhindar dari penyakit kelamin. Khitan adalah sunah yang berlangsung lama, dimulai sejak zaman Nabi ibrahim as. Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, khitan biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran dan pada masyarakat Indonesia biasanya dilakukan pada umur enam sampai tujuh tahun. Menurut jumhur ulama khitan merupakan kewajiban bagi setiap muslim pria, karena berkaitan dengan kesucian dalam beribadah. (Sayyid Sabiq, 1998, h. 22). Mencukur bulu kemaluan dan membersihkan bulu ketiak, bisa dilakukan dengan menggunting atau mencukurnya, mengeroknya dengan silet, atau dengan alat cukur lainnya.
Memotong kuku, mencukur kumis dan memanjangkannya, boleh dilakukan secara teratur dan dijaga kerapihannya, sehingga tidak mengganggu. Bila memelihara agar tidak terlalu panjang, sehingga tidak menyangkutnya makanan dan tidak menjadi tempat berkumpulnya kotoran. Memotong kuku, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan bulu ketiak atau memendekkan kumis, sunah dilakukan setiap minggu. Hal itu diharapkan agar selalu menjaga kebersihan dan menimbulkan kegairahan dalam aktivitas sehari-hari. Karena bila tidak terurus dengan rapih akan menyebabkan fikiran menjadi kusut dan melemahkan gairah kerja.
Apabila memelihara jenggot, hendaknya dipangkas dengan baik, sehingga menampakkan keindahan. Jenggot itu tidak boleh dibiarkan, tidak diurus sehingga menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan. Merapihkan rambut dan menjaga kebersihannya, menyisirnya dengan rapih merupakan sunah atau tradisi yang dilerstarikan dalam kehidupan kaum muslimin. Membiarkan uban di kepala dan tidak mencabutnya, baik bagi pria ataupun wanita, diharapkan dapat mengingatkan umur yang kita miliki, sehingga kita dapat memanfaatkan usia yang masih ada dengan sebaik-baiknya, untuk berbuat kebaikan. Bila rambut yang telah memutih itu akan diberikan zat pewarna hendaknya dicelup pada inai (zat pewarna) yang berwarna merah atau kuning.
Mengecat rambut dengan warna hitam, terdapat perbedaan pandangan, diriwayatkan bahwa ada diantaranya yang mewarnai rambut dengan warna kuning, sebagian lain mewarnai dengan inai dan katam, dan yang sebagaian lagi dengan warna hitam. Disebutkan oleh al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri diberitakan : “Bila wajah masih padat, kami mewarnai dengan warna hitam, tetapi bila wajah sudah keriput, dan gigi sudah banyak yang tanggal, kami tidak mencat rambut lagi”. (Sayid Sabiq : 1998, h.23). Memakai minyak wangi atau parfum merupakan sunah yang dilestarikan dalam kehidupan manusia muslim. Dengan demikian penampilannya di tengah-tengah masyarakat akan menimbulkan simpati dan menyenangkan teman bergaulnya. Karena itu memilih parfum atau minyak wangi yang cocok merupakan suatu keharusan, agar tidak menggunakan minyak wangi yang justru mengganggu orang lain.
Uraian di atas, berdasarkan pada pedoman berikut : Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda : “Ibrahim al-Khalil itu khitan pada usia 80 tahun, ia berkhitan dengan qadum (kampak)”. (H.R. Bukhari)* Qadum dalam pendapat lain tidak diartikan dengan kampak, tetapi nama sesuatu darerah. Maksudnya Ibrahim melakukan khitan di kota Qadum. Dari Ibnu Umar ra, Nabi bersabda : “Berbedalah (penampilanmu) dengan orang-orang musyrik, lebatkan jenggot dan rapihkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim).* Dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW : “Ada lima perkara yang termasuk fitrah yaitu mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku”. (H.R. Jama’ah).* Dari Zaid bin Arqam : “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang siapa yang tidak memotong kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami”. (H.R. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).*
Menggunting bulu kemaluan, membersihkan bulu ketiak, memotong kuku dan merapihkan kumis, hendaknya dilakukan setiap minggu dan tidak boleh melebihi dari empat puluh hari. Berdasarkan riwayat Anas ra : “Kami diberi tempo oleh Rasulullah SAW dalam memotong kumis, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari”. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan lainnya).* Memelihara jenggot dan merapihkannya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar bersabda Rasulullah SAW : “Berbedalah dengan orang-orang Musyrik, lebatkan jenggot dan pendekkan kumis”. (H.R. Bukhari & Muslim). Bukhari menambahkan : “Bila Ibnu Umar pergi haji atau umrah, dipegangi jenggotnya dan yang melewati tangannya dipotong”.*
Merapikan rambut, memelihara kebersihan dan menyisir dengan baik, berdasarkan pada riwayat Abi Hurairah, Nabi SAW bersabda : “Siapa yang memiliki rambut maka muliakanlah dia (merapihkan dan memelihara kebersihannya) (H.R. Abu Daud).* Atha bin Yasar meriwayatkan : “Seorang pria berambut dan berjenggot kusut datang pada Rasulullah SAW, Rasulullah mengisyaratkan padanya, agar ia merapihkan rambut dan jenggotnya. Pria itu pergi dan merapihkannya kemudian menghadap lagi kepada Rasulullah SAW. Nabi bersabda : “Tidakkah yang demikian ini lebih baik dari pada datang salah seorang diantaramu dengan rambut kusut masai bagaikan syaithan?”. (H.R. Malik).*
Dari Abu Qutadah ra bahwa ia memiliki rambut yang lebat, terurai sampai ke bahu, maka hal itu ditanyakan pada Rasulullah SAW : “Nabi memerintahkan agar ia merapikan dan menyisirnya setiap hari”. (H.R. Nasai).* Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Cukurlah rambut itu seluruhnya atau biarkan seluruhnya”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai).* menguncung rambut atau membiarkan sebagian rambut di kepala bagian atas seorang anak sedang yang lainnya dipanjangkan, tidak disukai atau dimakruhkan berdasarkan riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW melarang qaza. Ditanyakan pada Nafi : “Apa yang dimaksud dengan qaza?”. Ia menjawab : :Mencukur rambut dan meninggalkan sebagian yang lainnya”. (H.R. Bukhari & Muslim).*
Membiarkan uban dan tidak berusaha mencukur atau mencabutnya dianggap baik, karena ia digambarkan sebagai cahaya dari seorang muslim. Bila hendak mencelub uban, hendaklah dicelub dengan inai (zat pewarna) yang berwarna merah atau kuning, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Semua itu berpedoman pada keterangan dari Amar bin Syu’aib. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Janganlah kamu mencabut uban, karena sesungguhnya uban itu adalah cahaya seorang muslim. Tiada seorang muslimpun yang tumbuh sehelai uban dalam menegakkan Islam, kecuali Allah akan mencatatkan baginya satu kebaikan, mengangkat derajatnya satu tingkat dan menghapuskan satu kesalahannya” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah).* Anas ra berkata : “Kami tidak menyukai seorang pria yang mencabut rambut putih dari kepala dan jenggotnya”. (H.R. Muslim)* Dari Abi Hurairah ra, bersabda Rasulullah SAW : “Orang-orang yahudi dan Nasrani tidak mencat rambut mereka, maka bedakan dirimu engan mereka”. (H.R. Jama’ah).* Dari Abi Dzar ra, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik bahan untuk mewarnai uban adalah inai dan khatam”. (H.R. Khamsah).* Inai dan khatam adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk mencelup rambut yang berwarna hitam kemerah-merahan atau warna pirang.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Quhafah, ayah Abu Bakar al-Shidiq agar mengecat rambutnya dan agar menghindari warna hitam. Hal ini bila dihubungkan dengan pernyataan al-Hafidz dari Ibnu Syihab al-Zuhri : “Bila wajah kami masih padat, kami mencelup rambut dengan warna hitam, tetapi bila wajah keriput dan gigi telah tanggal kami tidak memakai itu lagi”. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak bertentangan, karena waktu itu Abu Quhafah sudah sangat tua, sehingga tidak layak lagi mencelup rambutnya dengan warna hitam. Perintah Nabi SAW kepada Abu Quhafah dijelaskan dalam hadits berikut, Abi Quhafah, yaitu ayah Abu Bakar al-Shiddiq didatangkan pada Nabi SAW waktu terbukanya kota Mekah, sedang (rambut) kepalanya memutih bagaikan kapas, Rasulullah saw bersabda : “Bawalah ia pada salah seorang istrinya, agar mencelub rambutnya dengan suatu bahan pewarna rambut dan hindarilah warna hitam”. (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar