Indahnya Persahabatan Dalam Islam
Manusia dalam hidupnya tidak bisa lepas
dari orang lain. Bergaul menjadi fitrah dan kebutuhan dasar manusia.
Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia harus menjalin hubungan dengan
sesamanya. Kehadiran orang lain adalah suatu keharusan karena manusia
tidak bisa hidup sendiri.
Menyadari hal diatas, dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain, manusia harus menjunjung tinggi prinsip simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan).
Dan hubungan yang semata-mata hanya untuk memperoleh ridha Allah SWT.
Bukan hanya untuk tujuan tetentu yang hanya menguntungkan diri sendiri.
Karena bila demikian, ikatan tersebut tidakakan kekal. Persahabatan itu
akan hilang seiring tergapainya tujuan yang diinginkannya. Sebagaimana
perkataan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, “Sesungguhnya
siapa saja yang senang kepadamu karena adanya keinginan, maka ia akan
berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”.
Nabi Muhammad SAW pernah
mengibaratkan ikatan persahabatan antar dua orang muslim dengan kedua
belah tangan. Beliau tidak memakai perumpamaan lain karena jalinan
hubungan antar kedua tangan sangat cocok untuk dijadikan, ibarat dalam
menjalani hubungan sesama manusia. Kita bisa melihat bagaimana kedua
belah tangan saling membantu satu sama lain dalam usaha menggapai
tujuan. Keduanya bersatu padu dalam mewujudkan tujuan. Keduanya melebur
menjadi satu untuk mencapai tujuan yang sama.
Demikian juga jalinan
persahabatan manusia akan lebih indah seandainya dilandasi dengan
semangat kerjasama sebagaimana kedua belah tangan. Mereka senantiasa
saling bahu-membahu untuk mencapai bersama. Menanggung bersama setiap
kesedihan yang menimpa. Dan setiap kebahagiaan akan selalu dinikmati
bersama. Dalam situasi dan kondisi apapun jalinan kerjasama terus
berlanjut. Saling membantu saat dibutuhkan walau tanpa diminta serta
saling menjaga rahasia dan aib. Bersabda, “Paling utamanya amal baik
ialah memberi kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”. (HR. Ibnu Abi Dunya).
Selain itu, seseorang
dalam bergaul juga dituntut untuk selalu menampakkan wajah ceria.
Mengucapkan salam jika bertemu. Memaafkan bila terjadi kekeliruan.
Saling memberi nasihat. Sama-sama mendo’akan karena do’a seseorang untuk
temannya mudah terkabulkan. (HR. Muslim). Dan yang paling sulit adalah saling mengorbankan harta benda yang dimilki. Imam Al-Ghazaali membagi
3 jenis sikap manusia dalam memberikan pengorbanan terhadap orang lain.
Pertama, memposisikan teman sebagaimana hamba sahaya atau budak. Dalam
arti selalu memenuhi kebutuhannya meskipun tanpa diminta. Kedua,
memposisikannya seperti diri sendiri. Sehingga apa yang dimilki rela
untuk digunakan bersama. Ketiga, tingkatan tertinggi dalam pengorbanan.
Yaitu selalu mengutamakan kepentingannya dari pada kepentingan sendiri.
Indahnya persahabatan
antar orang mukmin sehingga bisa menumbuhkan rasa persaudaraan yang
kokoh dapat kita baca pada kisah sahabat Muhajirin dan Anshor. Terutama
kisah antara Sa’ad bin Rabi’ dengan Abdurrahman bin ‘Auf. ”
Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya” ucap Sa’ad
kepada Abdurrahman untuk membantu memringankan Abdurrhman. “Silahkan
pilih separuh hartaku dan ambillah,” tegas Sa’ad. Bahkan Sa’ad bin Rabi’
menambah penawarannya, ” Akupun mempunyai dua orang istri, coba
perhatikan yang lebih menarik perhatianmu, akan kuceraikan ia hingga
engkau dapat memperistrinya”.
Dari kisah diatas, kita
bisa membaca betapa kuatnya ikatan persahabatan dan rasa persaudaraan
antar sahabat Anshar dan Muhajirin. Sebuah ikatan yang dilandasi
ketulusan dan keikhlasan. Ikatan yang betul-betul karena untuk meraih
ridha Allah SWT. Bukan karena untuk maksud tertentu.
semoga kisah diatas bisa dijadikan cerminan dulur-dulur…….
sebagaimana amal perbuatan kedua yang sangat dicintai oleh ALLAH SWT yaitu “menyambung tali silaturahim”. (hadratus syaikh KH. hasyim asy’ari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar